🐇10. Ini Bukan Duniaku!

409 58 61
                                    

🐇🐇🐇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐇🐇🐇

Entah terkena sihir Juna atau apa, bodohnya aku malah mau-mau saja saat Juna mengajakku singgah ke istananya. Bodoh! Bukannya dengan begini aku malah semakin mengulur waktu? Namun, bodohnya aku pun mau.

Seperti sekarang, aku dan Juna malah menunggangi kuda yang sama. Aku di depan dan Juna di belakang. Tali yang dipakai untuk mengendalikan kuda dipegang Juna. Aku hanya diam dan berpegangan pada leher kuda. Mana baju kami keadaannya masih basah kuyup lagi. Kan, kasihan kudanya jadi basah juga.

Kami melewati hutan yang lebat cukup lama, hutannya pun gelap, tak ada cahaya sama sekali. Terlebih lagi dua prajurit Juna sudah jalan duluan, entah mereka sudah sampai atau belum, tetapi mereka tak terlihat.

"Kau tak takut naik kuda, Shana?" tanya Juna yang suaranya terdengar sangat jelas karena mulutnya yang lumayan dekat dengan telingaku. Bahkan, helaan napas juga saja terasa di leher belakangku.

"Lo kira gue bocah yang naik kuda aja takut?" jawabku.

"Ya, lagian kau hanya diam saja dari tadi. Ah, iya, nanti jika di sana kau jangan pakai kosa kata 'lo gue' itu, pakai 'aku-kau' saja."

"Iya, Bawel!" Tak ada salahnya aku menurut, toh aku hanya akan singgah sebentar lalu pulang ke duniaku. Hanya hitungan jam aku harus memakai kosa kata 'aku-kau'. Itu tidaklah sulit.

"Bawel itu apa?" tanyanya. Baru saja aku mengira aku akan bebas dari pertanyaan Juna, tahu begini aku tidak mengucapkan itu tadi.

"Bawel itu cerewet, banyak omong! Mending lo diem!"

"Kau juga banyak omong. Itu artinya kita berdua bawel, iya, kan?"

Bodo amat, Jun! Kalo gue punya kuasa, udah gue sumpel mulut lo pake kaos kaki!
...

Tak berselang lama setelah perdebatan tadi, di depan tampak orang beramai-ramai mengumpul di sebuah rumah yang cukup besar. "Itu ada apa, Jun?" tanyaku pada Juna.

"Itu pasar rakyat. Jadi, rakyat Phrysona akan berbelanja di sana. Tidak dibuka tiap hari, hanya sepekan sekali," jawabnya. Oh, kemungkinan seperti mall atau pasar?

"Jadi, Phrysona itu nama desa?" tanyaku lagi.

"Sebenarnya itu nama kerajaan ayahku, hanya saja desa yang dibawah kepemimpinan ayahku disebut juga desa Phrysona, begitu," jawabnya lagi, aku mengangguk paham. Desanya cukup panjang dan luas ternyata, tak disangka-sangka. Bahkan aku kira ini hanyalah desa kecil.

Di luar dugaan, Juna malah mengentikan kudanya tepat di depan pasar rakyat yang ia bilang tadi, membuatku kaget karena kuda berhenti tiba-tiba. Untung saja aku tidak jatuh ke depan. "Woi! Ngapa berenti mendadak, sih? Untung gue nggak nyusruk!" Aku langsung menoleh ke Juna yang posisinya di belakangku. Entah objek apa yang sedang ia lihat, pandangannya terpaku pada suatu titik.

Behind The Choice [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang