🐇32. Kita dan Rembulan

250 16 2
                                    

🐇🐇🐇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐇🐇🐇

Setelah melihat lukisan yang sangat sempurna tadi, kami berniat kembali ke istana Juna, karena sebentar lagi larut malam. Seperti sekarang, aku sedang menunggu Juna di halaman depan. "Sedang menunggu suamimu, ya?" Suara seorang laki-laki itu mengagetkanku.

Dia Van.

"Tentu saja. Mana mungkin aku menunggumu? Yang jelas aku menunggu suamiku," jawabku ketus dan tak mau menoleh padanya. Malas berurusan dengan saudara-saudara Juna ini. Manusia ribet.

Aku meliriknya sekilas. Van malah duduk di bangku yang ada di belakangku. "Kenapa kau duduk di situ? Siapa yang menyuruhmu?" tanyaku tanpa menoleh padanya.

"Aku hanya ingin menemanimu menunggu Juna. Kenapa? Apakah tidak boleh?" tanyanya enteng. Juna membolehkan aku berteman dengannya sekalipun, aku tak mau. Dia sudah punya Rosalind, bisa-bisanya sok mendekatiku yang nyatanya adalah iparnya.

"Tak apa kalau kau tak mau pergi, biar aku yang pergi. Permisi." Aku segera pergi menyusul Juna yang ada di halaman belakang. Lagian Juna lama sekali, sih. Apa dia tidak tahu kalau Van itu sangat menggangguku?

Setelah aku sampai di halaman belakang, aku melihat Juna sedang memberikan kudanya minum dan seorang laki-laki tua yang sedang membetulkan kereta kuda. "Kereta kuda rusak, Shana. Kau ingin menginap di sini saja untuk malam ini? Atau mau ingin tetap pulang menaiki kuda?"

Ah, jadi ini yang membuat Juna lama di belakang. Aku kira ia sedang berbincang dengan siapa tadinya. Kalau menginap di sini, kemungkinan aku akan sekamar dengan Juna. Ish! Aku tak bisa membayangkan itu terjadi! Para Ibu tiri juga pasti julid padaku. Mana bisa aku menetap di lingkungan toxic seperti itu. "Kita pulang saja. Naik kuda pun tak apa," jawabku.

"Sungguh? Kau tak apa? Jika naik kuda, pinggang akan terasa cepat pegal. Kalau naik kereta kuda, kan, kita bisa tidur selama perjalanan," tanya Juna memastikan pendapatku. Aku lebih baik sakit pinggang daripada berada di ruang lingkup yang isinya memusuhiku.

Aku mengangguk dengan yakin. "Iya, aku yakin. Lalu lukisannya? Kita tak bisa membawanya jika naik kuda. Akan susah nanti membawanya." Aku melihat pada lukisan yang kubawa. Sayang sekali jika ditinggal di sini. Aku ingin segera menunjukkannya pada Bi Sonya.

"Nanti aku akan aku suruh pengawal untuk mengantarkan lukisannya ke rumah kita," jawab Juna. "Pengawal, aku akan pulang naik kuda dengan istriku. Tolong besok pagi lukisannya sudah diantar ke istanaku, ya," pesan Juna pada pengawal yang sedang membetulkan kereta kuda.

"Siap, Pangeran," jawab pengawal itu dengan tegas, lalu segera memasukkan kertas kuda itu ke sebuah ruangan yang ada di sebelah pintu dapur. Sepertinya itu gudang.

Juna lalu menuntun kudanya ke depan, aku hanya mengikutinya dari belakang. Terlihat Van masih duduk di kursi kayu yang tadi. Saat aku dan Juna lewat, ia malah segera masuk ke dalam. Pria aneh!

Behind The Choice [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang