🐇13. Bukan Rencana Kita!

322 36 46
                                    

🐇🐇🐇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐇🐇🐇


"Ukhuk-ukhuk ..." Ayahnya Juna langsung tersedak saat mendengar pernyataan nyeleneh dari Juna. Iyalah, orang tua mana yang tidak kaget jika anaknya berkelakuan random seperti ini. Setelah tersedak, ia lalu pergi meninggalkan ruangan.

"Ayah ...." Juna langsung berlari meninggalkan makanannya yang belum habis dan mengejar ayahnya yang keluar dari ruangan ini. Kalau begitu, untuk apa aku di sini? Tak ada Juna, itu artinya aku berada di tengah-tengah manusia antagonis.

"Aku permisi." Tak lama setelah Juna pergi, aku pun hendak ikut meninggalkan ruangan.

Baru saja setengah langkah, aku sudah mendengar bisikan pedas dari para istri raja itu. "Lihat? Belum genap sehari gadis desa ini berada di sini, sudah membuat masalah. Ia hanya benalu, merusak hubungan anak dan ayah saja!" bisik mereka yang membuat langkahku terhenti. Dasar Ibu-ibu julid!

Aku segera mempercepat langkahku karena tidak ingin lebih lama mendengar omongan pedas mereka. Kuperhatikan dari kemarin tanya Ibu Vasilia yang kalem dan tidak julid, berbeda dengan dua orang itu yang bermulut seperti cabai.

Di ruang depan, langkahku terhenti lagi karena bingung akan ke mana. Aku memutuskan keluar dari pintu samping yang sedang terbuka. Kukira ini menuju ke mana, ternyata ke sebuah taman bunga luas dengan satu pohon beringin ditengah-tengahnya. Terdapat juga satu bangku panjang di bawah pohon.

Dari pada aku menunggu Juna yang entah ke mana, aku memilih untuk duduk di bawah pohon beringin itu saja. Beberapa Pangeran terlihat berlatih pedang di samping istana, tidak jauh dari tempatku berdiri sekarang.

Aku duduk di bangku panjang ini, menikmati udara pagi serta sinar matahari yang hangat. Melihat hamparan bunga berwarna ungu dan merah muda bermekaran. Aku tak tahu itu bunga jenis apa, yang jelas di duniaku tak ada bunga semacam itu.

"Khem, boleh aku duduk?" Suara deham dengan nada berat dari seorang lelaki membuyarkan fokusku pada bunga-bunga ini. Setelah aku menoleh untuk melihat si pemilik suara, ternyata itu Van. Jangan bilang ia mau menyombongkan diri lagi, atau sekadar menanyaiku tentang wanita yang bernama Wulan itu.

"Kau sendirian?" tanyanya. Jelas-jelas aku sendiri, masih bertanya juga.

"Kau tak lihat? Bukalah matamu lebar-lebar!" kataku sedikit sewot. Apa maksudnya? Duduk tinggal duduk saja kenapa harus banyak basa-basi.

Ia kemudian duduk di kursi yang sama denganku. Padahal aku tak menoleh padanya, tetapi getaran bangku kayu ini sangat terasa jika ditekan atau diduduki. "Aku tahu kau tampak bingung," katanya lagi.

"Tidak. Jangan sok tahu, apa selain jadi pangeran, kau juga beralih profesi sebagai dukun?"

"Jangan membohongiku, Shana. Terlihat jelas raut wajahmu saat di meja makan tadi. Kau sangat terkejut saat Juna mengatakan ia ingin menikahimu," ucapnya. Ternyata Van ini adalah salah satu manusia yang peka. "Dari desa mana kau berasal? Aku tak pernah melihatmu sebelumya."

Aku menghela napasku, merasa sudah lelah dengan yang kualami ini. Aku yang tadinya tak melihatnya, kini beralih menoleh dan menatapnya. "Jika aku mengatakan, aku tinggal di sebuah negeri dengan berbagai peralatan canggih, alat komunikasi yang cara pemakaiannya cukup dengan disentuh, serta kendaraan roda dua yang bisa melaju sangat kencang, apa kau akan percaya?" tanyaku.

"Kendaraan? Kereta kuda maksudmu?" tanyanya lagi dengan raut wajah bingung. Astaga, bukan itu maksudnya! Memangnya kereta kuda bisa secepat apa?

"Bukan, kendaraan ini menggunakan mesin canggih. Bahan bakarnya-"

"Hei, Nona, kau tinggal bilang saja nama tempatmu berasal. Tak usahlah berbelit-belit menjelaskan hal yang mustahil," ucapnya dengan cepat memotong kalimatku. Cih, jika tak percaya tanya saja adikmu!

"Aku dari negeri yang jauh dari sini. Juna bilang hari ini akan mengantarku pulang hari ini."

"Aku ingin bertanya sekali lagi. Apa kau mengenal Wulan?" tanya Van yang lagi-lagi membuatku tidak habis pikir. Sebenarnya kenapa ia dari kemarin terus-terusan menanyakan hal yang sama? Ah, atau dia kira aku berasal dari desa yang sama dengan wanita yang ia sebut?

"Siapa Wulan? Berhentilah menanyaiku tentang gadis yang tidak aku kenal."

Setelah aku mengatakan itu pada Van, kami hanya saling diam. Dia bahkan lebih aneh dari Juna. "Van," ucap Juna yang datang secara tiba-tiba. "Jika kau tidak keberatan, aku ingin berbicara berdua dengan Shana," ucapnya pada Van.

Van yang kurasa adalah manusia paling peka di sini pun langsung pergi meninggalkan aku dan Juna di sini. Baguslah aku tak sabar rasanya ingin memaki-maki Juna. "Apa maksudmu berbicara seperti itu di depan keluargamu, hah?! Sekarang antar aku pulang ke duniaku!"

"Maafkan aku, Shana. Aku terpaksa bicara begitu karena aku tak ingin menikah dengan Grace," ucapnya seolah menyesal. Lalu bagaimana jika ayahnya setuju dengan keputusan gilanya itu? Apakah aku harus berakhir dengan pernikahan yang tak aku inginkan? Walaupun suatu hari aku menginginkan pernikahan, aku hanya ingin menikah dengan seseorang yang aku cinta dan sebaliknya. Bukan menikah dengan dadakan dan alasan bodoh seperti ini!

"Kalau begitu, kenapa kau memilihku? Kau memangnya benar-benar ingin jika kita menikah? Hei, itu bukan rencana kita dari awal!"

Dia hanya diam dan tidak menjawab pertanyaanku. Laki-laki ini kenapa tidak berpikir panjang sebelum bertindak? "Simpan saja jawabanmu itu, sekarang antarkan aku pulang." Saat aku sudah berbalik badan dan hendak melangkah, Juna langsung menahan tanganku.

"Tolong, tetaplah di sini. Aku butuh seorang permaisuri."

🐇🐇🐇

🐇🐇🐇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Behind The Choice [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang