🐇14. Keputusan Tepat

321 38 33
                                    

🐇🐇🐇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐇🐇🐇

Bahkan kalimat yang Juna ucapkan barusan hanya kuanggap angin lalu yang masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Hanya manusia bodoh yang mau menikah tanpa cinta dan itu bukan aku! Sorry, ye!

"Shana, ayolah, kumohon ...." Seolah tak ingin berhenti berusaha, Juna terus membujukku. Cih, jangan harap aku akan mau!

"Sekali tidak, ya, tidak! Sekarang ambil kudamu dan antar aku ke danau yang kemarin. Aku masih punya banyak urusan di duniaku." Aku pergi ke dalam istana setelah mengatakan itu. Di depan pintu, ada Hans yang berdiri menatap kami. Apa mungkin dia mendengar percakapanku dan Juna barusan?

"Cih, gadis ini, kau harusnya berterima kasih pada adikku yang mau memperistri gadis yang tidak jelas asal-usulnya sepertimu!" teriaknya yang membuatku terkejut. Jadi, dia dengar?

"Apa saja yang kau dengar barusan?" tanyaku dengan nada dan ekspresi yang kesal.

"Tidak ada," jawabnya. Dasar Hans pembohong! Wajahnya saja seperti seorang pangeran kalem dan tidak banyak tingkah. Nyatanya dia adalah pangeran judes bermulut julid!

"Lupakan apa yang kau dengar. Ah, ya, satu lagi yang harus kau ingat. Aku punya tempat asal. Aku bukan gadis yang tidak jelas asal-usulnya, asal kau tahu!" Puas sekali aku setelah menunjuk wajahnya lalu memaki-makinya. Dia terlihat kesal lalu pergi meninggalkanku. Baguslah, jadi aku tak perlu beradu mulut dengan pangeran julid itu.

Setelah kepergian Hans, aku memutuskan untuk ke kamarku dan bersiap-siap untuk pulang. Aku lupa, jika aku harus pamit pada ayahnya Juna yang sangat baik mau menerimaku di sini. Saat aku sedang menyisir rambutku yang lumayan masih masah, dari luar pintu depan terdengar suara ketukan. Ah, aku tebak itu pasti Juna yang masih saja tidak berhenti berusaha.

Aku kemudian mendekat ke arah pintu yang dipenuhi ornamen unik ala-ala zaman kerajaan. "Apa, sih, Jun-" Astaga, baru saja aku ingin mengomeli manusia yang mengetuk pintu. Ternyata itu bukan Juna, melainkan ayahnya. "M-maaf, Paduka ...." Aku langsung menunduk karena merasa bersalah.

"Tak apa, Shana. Ada yang perlu kita bicarakan sedikit," kata Paduka Raja. Malah jantungku tak aman jika dibuat penasaran begini. Pasti beliau ingin mengusirku atau yang lebih parahnya lagi aku akan dipenjara karena diduga lancang jatuh cinta pada anggota kerajaan. Begitulah isi pikiranku yang menerka-nerka. Semoga saja tidak sampai dipenjara.

"Tentang apa?" tanyaku.

"Hubunganmu dan Juna." Jawaban singkat yang lolos dari mulutnya itu membuat ritme jantungku semakin berdetak lebih cepat. Benar dugaanku, beliau pasti akan memarahiku setelah ini.

"M-maaf, Paduka, tapi jangan percaya begitu cepat dengan omongan Juna. Hubungan kami hanyalah sebatas teman, tidak lebih." Hanya jawaban sederhana yang mampu kuucap untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan darinya. Semoga saja beliau tidak marah dan semoga jawaban ini adalah jawaban tepat.

"Menikahlah dengan putraku, Shana. Sekarang katakan, kau ingin apa? Perhiasan? Istana yang megah? Atau kereta kuda yang sangat mahal?" tanyanya seolah aku adalah anak kecil yang sedang ditawari seonggok mainan. Apa mereka kira aku sematre itu?

"Maaf, tapi aku tak menginginkan itu. Aku hanya ingin pulang," ucapku tegas seolah membuatnya kaget.

"Kau ... tak ingin menikah dengan Juna?" tanyanya lagi. Bagaimana aku bisa menikah tanpa cinta? Lagi pula aku tak bisa terus-terusan berada di sini. Aku punya dunia yang berbeda dengan kalian.

"Tidak. Saya pamit, Paduka. Terima kasih sudah mengizinkan saya menginap di istana yang sangat luar biasa ini. Saya permisi." Aku segera menutup pintu kamar dan pergi menuruni tangga. Semoga saja Juna sudah siap dengan kudanya.

Aku melangkah menuju depan istana. Banyak prajurit yang sedang berlatih pedang. Mereka dipimpin oleh Lyyn. Sedangkan aku seperti manusia tersesat yang celingukan mencari Juna yang tidak terlihat sama sekali.

"Hei, kau mencari apa?" tanya Lyyn yang tiba-tiba saja muncul di sampingku. Ah, membuatku kaget saja.

"Juna. Di mana dia?"

"Aku kira kau mencariku. Aku melihatnya tadi di kandang kuda," jawab Lyyn begitu percaya diri. Apa tadi katanya? Untuk apa pula aku mencarinya, tidak penting!

"Di mana letak kandang kuda itu?" tanyaku. Namun, dia hanya tertawa saat aku celingukan. Hei, bisa-bisanya! "Kenapa kau malah tertawa? Kau kira aku badut, hah?!" Para saudara Juna ini memang aneh, semuanya!

"Kau duduklah di sini. Wanita cantik tak perlu ke kandang kuda, Nona. Ah, aku ambilkan kopi hangat dan kita nikmati berdua. Mau?" tawarnya. Beliau ini kurasa memang sudah gila!

"Simpan saja kopimu itu, aku hanya perlu tahu di mana letak kandang itu. Katakan, cepat!" Aku membentaknya agar dia mulai mengatakan. Namun, bukan Lyyn jika tidak merayu wanita.

"Santailah dulu, apa kau mau aku temani jalan-jalan menggunakan kuda?" tawarnya lagi. Pria ini lama-lama membuatku muak.

"Tak perlu. Berkudalah sendiri, kurasa kau adalah manusia mandiri. Aku akan pulang bersama Juna, permisi," ucapku lalu pergi meninggalkannya. Terlalu malas dengan manusia yang berbelit-belit ketika berbicara.

Aku lanjut berjalan ke belakang istana lewat luar. Jika lewat dalam, aku takut akan tersesat. Benar saja, di belakang istana terdapat kandang kuda yang begitu luas. Ada banyak juga unggas yang diternakkan dan sedang diberi makan oleh beberapa orang.

"Permisi, apa kau melihat Juna?" tanyaku pada seorang pria tua yang mengenakan pakaian biasa dan sebuah caping di kepalanya.

"Oh, Pangeran Juna? Dia ada di sana, Nona," jawab Pria tua itu sambil menunjuk ke sebuah gubuk kecil yang ada di samping kandang kuda.

"Baik, terima kasih, Paman."

Aku langsung menuju ke gubuk kecil yang tidak jauh dari tempatku berdiri. Terlihat gubuk ini dipenuhi jerami di kanan dan kirinya serta beberapa karung berisi pakan ayam.

"Juna?" panggilku saat melihat Juna duduk termenung di sebuah bangku sambil menopang dagu. Dia terlihat langsung tersadar dan menoleh padaku.

"Y-ya? Kau sudah siap? Aku sudah menyiapkan kuda sejak tadi. Hanya saja aku menunggumu." Dia langsung berdiri. Baguslah jika ia sudah siap sedari tadi. Namun, kenapa tidak mencariku? Juna terlihat menghapus air di ujung matanya. Entah itu air mata atau keringat, tetapi apakah Juna barusan menangis?

"Kau ... menangis?" tanyaku pelan. Dia malah mengusap air di ujung mata yang sebelahnya.

"Tidak, hanya terharu. Aku tak menyangka kita akan berpisah secepat ini, Shana. Padahal baru saja aku bertemu sahabat sebaik dirimu," katanya yang membuatku ikut terharu. Hampir saja aku meneteskan air mata.

"Aku pun. Senang bisa membantumu pulang ke dunia di mana kau berasal. Sekarang, giliranmu yang membantuku pulang ke dunia tempatku berasal."

Anehnya, setelah aku mengatakan itu, Juna langsung memelukku. Pelukan erat dua orang sahabat yang sebentar lagi akan berpisah.

🐇🐇🐇

🐇🐇🐇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Behind The Choice [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang