🐇🐇🐇
Setelah selesai makan, aku tak sengaja bersendawa lumayan keras, membuat Juna melirik sinis padaku. "Hehe." Aku hanya bisa nyengir layaknya kuda. Makanan ini enak sekali, tak sia-sia aku menikah dengan Juna.
"Istirahatlah, Shana. Mari aku tunjukkan kamarnya." Juna langsung berdiri dari duduknya. Aku hanya bisa mengikutinya karena tak tahu isi istana ini.
Kami terlebih dulu naik tangga, karena kamar yang akan ditunjukkan Juna adalah di lantai atas. "Ini kamarnya." Juna berhenti di depan satu pintu tinggi. Ada banyak ruangan di sini, mungkin aku akan bingung dan salah masuk ruangan jika sendirian.
"Terima kasih." Aku segera membuka pintu dan hendak masuk. Namun, saat aku berbalik badan dan ingin menutup pintu, Juna tiba-tiba ingin ikut melangkah masuk. "Heh?! Kau mau ke mana?" tegurku yang langsung mengentikan langkahnya.
"Mau masuk," ucapnya enteng.
"Ini kamarku!" teriakku. Enak saja mau masuk sembarangan. Padahal, kamar di istana ini banyak. Bukannya menjawab, Juna malah terkekeh. "Kenapa kau tertawa? Kau pikir aku komedian, hah?!" bentakku lagi. Jangan-jangan ia benar-benar sudah tak waras.
"Kau lucu sekali. Kita ini suami istri, Shana. Wajar jika kita tidur satu kamar." Wajar, katanya? Dengan entengnya ia bilang ini wajar?!
"Kita memang telah menikah, tapi aku tak ingin tidur satu kamar denganmu, carilah kamar sendiri. Toh, di sini ada banyak sekali kamar. Sudah, ya, aku mau tidur." Aku menutup pintu dengan kasar. Untung saja Juna tak bersikeras ingin sekamar, bisa-bisa aku tak tidur jika ada dia di sini.
"Baiklah, selamat istirahat, Shana. Pakailah baju yang kau suka di dalam lemari itu!" teriak Juna dari balik pintu yang suaranya mulai menghilang. Kemungkinan ia pergi menjauhi ruangan.
Aku membuka lemari besar yang ada di sudut ruangan. Di dalamnya sangat banyak gaun serta baju dress selutut. Motifnya juga cantik, aku menyukainya. Kamar ini tak memiliki lampu, hanya ada empat lilin di tiap sudutnya. Besok akan kusuruh Juna memasang lampu untuk kamar ini.
Ranjangnya pun sangat besar dengan seprei dan sarung bantal berwarna putih, lengkap dengan taburan kelopak mawar. Sangat terlihat jika ini didekor untuk kamar pengantin, sayangnya tak ada malam pengantin dalam hidupku!
Aku berganti baju dengan baju tidur berbentuk dress biasa yang kurasa tak akan membuat gerah jika dipakai tidur. Sebelum tidur, aku membuka jendela balkon agar tetap sejuk karena di sini tak ada kipas apalagi AC. Saat membuka jendela, pemandangan yang tersuguh adalah pantai dengan angin yang sangat segar. Aku segera tidur karena badan sangat lelah. Meski masih pagi, kurasa tidur pun tak ada salahnya.
***
"Di sini ternyata kau, Sayang. Aku sungguh merindukanmu." Terdengar suara seorang laki-laki yang tidak aku kenali. Kasur yang sedang aku jadikan alas tidur terasa bergetar seperti ada yang menaiki ranjang. Mataku tak bisa terbuka, mulutku seperti terkunci, dan tubuhku tak dapat digerakkan sedikit pun.
Aku sudah berusaha menggerakkan tubuhku, tapi nyatanya tak bisa. Apakah aku sedang bermimpi? Namun, mengapa ini terasa sangat nyata? Sangat terasa kini punggung tanganku dipegang olehnya. "Tanganmu sangat lembut, Sayang. Sama seperti pertama kali aku memegang tanganmu," ucapnya yang membuatku merinding. Siapa pun tolong aku sekarang!
"Mengapa ... mengapa kau berbohong? Kau bilang cintamu hanya untukku, tetapi kau malah menikah dengan pria itu. Kau harus ingat, sampai kapan pun, jika kau hanya milikku, Sayang," ucapnya yang terdengar dengan suara merintih seperti akan menangis. Sekarang tangan brengsek pria ini mengelus rambutku. Kurang ajar! Kalau aku tahu siapa dia, sudah habis dia kutonjok!
"Kau cantik sekali, tak berubah dari dulu." Ia mengelus pelan rambutku. Pria dengan suara yang tak kukenali ini kemudian turun dari ranjang, sangat terasa getaran dari kasur empuk ini. "Aku akan kembali menemuimu nanti malam, Sayangku. Pastikan kau tak disentuh oleh manusia setengah hewan itu!" ucapnya. Siapa yang ia bilang manusia setengah hewan itu? Juna-kah? Hei, berani-beraninya kau mengatai Juna-ku dengan sebutan rendahan seperti itu!
Terasa hening seketika, tak ada suara langkah kaki. Aku berusaha bangun dari tidurku. Ternyata bisa. Napasku belum beraturan, sentuhan pria tadi masih teringat jelas. Aku berharap tadi hanyalah mimpi, tetapi melihat sepraiku yang berantakan dan tidak mulus itu mematahkan harapanku. Jadi tadi benar-benar nyata? Lalu mengapa tubuhku tak bisa bergerak saat pria itu menyentuhku tadi?
Pintu tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok Juna yang sudah berganti pakaian dengan rapi. "Kau sudah bangun, Shana?" tanyanya. Aku masih tak menjawabnya karena nyawaku belum terkumpul. Aku yakin Juna sedang menahan tawa dalam hatinya melihatku yang baru bangun tidur dengan rambut acak-acakan seperti singa jantan. "Bersiaplah mandi, ini sudah sore," ucap Juna. Aku sontak langsung melihat ke arah jendela. Langit memang sudah berwarna jingga. Jadi, aku tidur dari pagi sampai sore?
"Keluarlah dulu, nanti aku akan bersiap," ucapku agar Juna segera keluar. Saat ia sudah pergi nanti, aku akan lanjut tidur lagi.
"Baiklah. Segera, ya, Shana. Aku ingin memperkenalkanmu pada seseorang, ia sudah menunggu di bawah." Ucapan Juna barusan membuat mataku melotot seketika. Siapa yang ia maksud sedang menungguku? Apa jangan-jangan Kakek penjual kelinci itu? Kakek yang menjadi kunci satu-satunya agar aku bisa keluar dari dunia kerajaan ini.
"Aku segera mandi!" Aku langsung bersemangat, berlari mengambil baju di lemari dan segera lari ke kamar mandi. Kulirik sekilas, Juna hanya menahan tawa. Huh, memangnya aku badut Ancol?!
****
Setelah selesai mandi, aku memakai dress biru muda yang warnanya sangat fresh, hanya antisipasi saja, siapa tahu nanti ada pangeran yang lebih kaya lalu jatuh cinta padaku, hahahah! Mimpi kau, Shana!
Aku segera keluar kamar, lalu menuruni tangga dengan berlari. Aku tak sabar menagih jawaban pada Kakek itu. Di ruang depan, ternyata hanya ada Juna dan seorang wanita tua berpakaian biasa, maksudku adalah wanita itu tak berpenampilan seperti anggota kerajaan. "Nah, ini istriku, Bi. Namanya Shana." Juna yang tadinya duduk di sofa, langsung berdiri dan memperkenalkanku pada wanita ini.
Wanita tadi pun tersenyum padaku, malahan ia langsung memelukku. "Cantik sekali," ucap wanita itu. Dia kemudian meraba wajahku dan mencubit pipiku. "Bahkan, kau persis seperti Nyonya Anyelir," imbuhnya. Membuatku makin bingung. Anyelir? Siapa Anyelir?
"Shana, ini Bibi Sonya. Dia adalah dayang yang merawatku sejak kecil. Beliau ini sudah kuanggap seperti ibuku sendiri," ucap Juna. Ah, aku paham sekarang. "Bibi Sonya mulai sekarang akan tinggal di sini bersama kita," lanjutnya.
"Lalu ... Anyelir?" tanyaku bingung. Aku menatap Juna, menagih jawaban darinya.
"Ibuku," jawab Juna dengan cepat. Jadi, itu nama ibunya Juna? Bagus sekali, pasti orangnya juga sangat cantik.
"Ya, Nona Shana. Kau sangat mirip dengan Nyonya Anyelir ketika ia seusia kalian dulu. Boleh aku memelukmu?" tanya Bibi Sonya padaku. Aku mengangguk, kemudian ia memelukku dengan erat.
🐇🐇🐇
Ada yang bisa nebak siapa sosok laki-laki yang menemui Shana?
next ga nih?🐇
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Choice [END]
Fantasy[STORY 4] GENRE: FANTASI - ROMANCE Shana adalah mahasiswa yang hidup sebatang kara serta terbiasa hidup mandiri. Sejak kecil ia hidup di panti asuhan. Sampai akhirnya, menyewa rumah untuk ia tinggali adalah keputusan tepat karena dirinya tak menyuka...