🐇21. Istana Milik Kita

237 24 1
                                    

Ada yang masih nungguin Juna up, ngga? Komen, dong, biar aku semangat up heheh. Itu pun kalau adaaa 😔🤝

Happy reading 🐇💗

Happy reading 🐇💗

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐇🐇🐇

Juna terlebih dulu mengikat kudanya di bawah pohon yang ada di dalam pagar istana. Belum juga masuk, istana ini terlihat tak lepas dari suasana horornya. Hanya dihiasi lilin putih yang berjajar di teras, sedangkan bagian dalam gelap, tak ada setitik pun cahaya. Aku yang hanya memperhatikan dari depan saja langsung merinding. "Apa kau tak punya lampu untuk penerangan? Di sini gelap sekali." Aku tak henti-hentinya mengomel karena tak nyaman dengan tempat segelap ini. Bisa-bisanya ada manusia yang betah tinggal di sini?

"Aku menyukai suasana gelap begini," ucap Juna yang membuatku semakin ingin nyinyir saja. Juna ini memang hidupnya penuh kesuraman, ya. Baru saja semalam aku berbelas kasih karena sedih mendengar ceritanya, tetapi sekarang rasanya aku ingin menghujatnya dengan kata-kata pedas.

Tak lama kemudian, hujan turun tiba-tiba, membuat kami kaget karena belum berteduh. Dengan langkah cepat aku dan Juna berlari menuju istana. Tak sampai dalam, kami hanya berteduh di terasnya. "Kenapa kita tak masuk saja? Di sini sangat dingin, Jun!" protesku. Lagi pula pagi-pagi sudah hujan saja. Aku sampai menggigil karena angin berembus sangat kencang.

"Baik, akan aku bukakan pintunya." Juna menarik sebuah kunci dari saku celananya. Ia memasukkan kunci pada lubangnya, lalu memutar kunci itu perlahan. Hingga akhirnya pintunya terbuka.

Kesan yang terlihat pertama kali masih sama seperti feeling-ku tadi, yaitu horor. Bagaimana tidak, ruangan yang gelap itu hanya diisi dengan cahanya yang keluar dari fentilasi yang sangat kecil. "Mulai besok mulailah memasang lampu-lampu yang terang, Jun. Aku tak bisa tinggal di tempat gelap begini asal kau tahu."

"Hei, apa urusanmu? Ini istanaku," jawab Juna dengan cepat. Aku langsung meliriknya sinis. Mentang-mentang situ yang punya kuasa!

"Aku istrimu sekarang. Jadi, istanamu adalah istanaku juga." Aku melipat kedua tanganku di depan dada dengan sombong. Enak saja dia bilang ini istananya. Jika menikah, miliknya adalah milikku juga dan itu harus!

"Terserahmu saja, sekarang ayo masuk. Dayang telah menyiapkan makanan. Pasti kau lapar, kan?" tanya Juna. Mungkin ia tadi mendengar cacing-cacing di perutku yang berbunyi. Aku segera berlari ke dalam. Ruangannya cukup luas, apakah Juna hanya tinggal sendiri bersama para dayang di istana sebesar ini? Lagi pula di depan istana aku tak melihat satu pun prajurit.

Kami duduk di sebuah kursi yang di depannya terdapat meja panjang. Dua dayang berdatangan meletakkan piring, nasi, serta lauk pauk di meja. Tak hanya meletakkan piring di meja, mereka juga mengambilkan makanan untukku dan Juna. Ada banyak buah-buahan juga seperti pisang, jeruk dan apel. Buah-buahan di sini sangat besar, berbeda dengan di duniaku. Bayangkan saja, apel berukuran besar layaknya semangka. Makan satu apel saja sepertinya akan kenyang sampai malam.

"Kau tinggal sendiri, tapi meja makan sepanjang ini, kursi pun tersedia banyak." Aku mulai menyendokkan satu persatu nasi ke mulutku.

"Aku memang suka sepi, tapi tak suka kesepian. Maka dari itu aku menaruh banyak kursi, jadi meski aku makan sendiri, aku merasa berada dalam keramaian manusia," jawabnya. Wajar jika Juna lebih seka sepi, mungkin karena ia terbiasa kesepian sejak kecil. Juna tersenyum manis padaku. "Tapi aku senang karena nanti di setiap harinya aku akan ditemani makan oleh istriku."

Blush ... astaga, kenapa aku jadi sedikit senang karena Juna menyebutkan kata 'istriku'. Kurasa pipiku mulai memerah saat ini. "Hei, kau kenapa, Shana? Pipimu kenapa jadi berwarna merah muda seperti itu? Apa kau sakit karena kehujanan tadi?" tanya Juna panik, bahkan ia hampir berdiri dari duduknya.

"Eh, tidak! Ini ... tak apa, mungkin karena nasinya panas, jadi pipiku memerah." Aku segera mencegah agar Juna tak berdiri. Untung saja dia itu tidak peka, kalau ia sadar aku sedang senang karena perkataannya tadi, bisa malu aku.

"Syukurlah kalau begitu. Nasinya memang masih panas, tiuplah dulu sebelum dimakan," pesan Juna. Aku langsung makan dengan lahap saking malunya. Astaga, bisa-bisanya aku blushing mendengar Juna mengatakan kalimat sepele seperti itu.

"Kau tinggal di sini sudah berapa lama, Jun?" tanyaku pada Juna. Ia yang tadinya ingin memasukkan sesendok nasi jadi mengurungkan aktivitasnya itu.

Juna lalu menaruh piringnya di sendok. Ia menatap pada satu titik meja makan, kurasa ia akan menceritakan hal serius. "Ayahanda memberikanku istana ini sejak aku umur sepuluh tahun. Itu dilakukan karena dulu para kakakku selalu tak setuju bila aku tinggal di sana bersama mereka. Kau tahu, Shana? Kehadiranku memang tak diterima di mana pun. Maka dari itu, aku tinggal di sini, di istana yang jauh dari mereka, istana yang letaknya di tengah hutan seperti ini."

Ada rasa sesak di hatiku saat mendengar cerita Juna yang dijauhi oleh orang-orang, bahkan sampai diasingkan begini. Untung saja para saudaranya itu sekarang sudah mulai menerima Juna. Tinggal para ibu tirinya yang antagonis itu yang masih sulit. Hanya karena Juna anak wanita dari bangsa kelinci? Bahkan anak-anak mereka lebih dewasa kurasa. "Shana, kau kenapa diam?" tegur Juna yang mengagetkanku.

"Tak apa," jawabku singkat, lalu kami kembali melanjutkan sarapan. "Oh, iya, di sini hanya ada dua dayang itu?" tanyaku. Mana mungkin di istana sebesar ini Juna hanya memperkerjakan dua orang dayang.

"Iya, tapi mereka akan berhenti bekerja hari ini," jawab Juna membuatku melotot padanya. Apa aku tak salah dengar?

"Lalu siapa yang akan membersihkan istana yang luasnya sebesar stadion Gelora Bung Karno ini?" tanyaku, Juna malah terlihat bingung, ia mengernyitkan keningnya.

"Apa itu Gelora Bung—"

"Ah, sudahlah. Kau tak akan paham. Inti dari pertanyaanku tadi adalah siapa yang akan membersihkan istanamu ini jika dua dayang itu kau berhentikan?" tanyaku dengan sedikit geregetan, rasanya ingin aku makan saja di Juna.

"Kan ada kau," ucapnya enteng lalu lanjut makan.

Aku meletakkan sendok di piring dengan kasar setelah mendengar ucapannya barusan. "Maksudnya apa, hah?! Kau mau aku jadi pembantu di sini?!" bentakku lalu berdiri. Aku memang terbiasa bekerja, tetapi jika membersihkan istana sebesar ini bisa-bisa patah pinggangku.

"Loh, kan, katamu tadi ini adalah istanamu juga karena kau istriku, jadi untuk apa aku membayar dayang jika istriku saja bisa mengurus semuanya?"

Bedebah, kau, Juned! Aku tak berhenti mengatainya dalam hatiku. "Kau ini!" Aku sampai kehabisan kata-kata saking geramnya pada laki-laki ini. "Setidaknya sewa satu dayang saja untuk menemaniku," pintaku. Aku jadi menyesal tadi telah mengatakan jika istana ini adalah istanaku juga.

"Baik jika itu maumu. Apa pun untukmu, Permaisuriku."

"Ipi pin intikmi, pirmisiriki," ucapku menirukan kata-kata Juna barusan. Tahu begitu, lebih baik aku meminta seribu dayang tadi!

🐇🐇🐇

🐇🐇🐇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Behind The Choice [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang