🐇18. Siapa Juna Sebenarnya?

289 29 10
                                    

Haloo, apa kabar?💗💐 Tidak menghapus cerita ini dari perpus kalian, kan? Aku harap tidak, ya!🧁🤞

Kemarin aku fokus menamatkan cerita sebelah, jadi beberapa hari ngga lanjutin cerita ini. Tapi ... ternyata aku kangen nulis cerita ini eheheh, padahal rencananya mau aku unpublish 😭 Aku baru menyadari, ternyata nyawaku memang di fantasi!😭💗🐇

So, mari lanjutkan kisah Juna dan Shana. Jangan lupa untuk spam vote komen, ya! Happy reading!

Hanya manusia yang tidak luput dari typo. tandai jika ada.

🐇🐇🐇

Setelah meminta izin pada anggota kerajaan termasuk Ibu Orla yang super julid itu, kini kami mendapat restu dari raja. Ternyata sulit juga menikah dengan keturunan bangsawan, harus menerima cemooh dan hinaan.

Aku dan Juna sekarang duduk sebuah ruangan. Katanya, kami akan tes kesehatan dan dibantu oleh tabib. "Juna, kapan pernikahan ini dilangsungkan?" tanyaku. Oh, iya, kenapa aku baru menyadari jika semenjak berada di sini, sebutan 'lo-gue' itu sudah tidak ada dalam pikiranku. Lisanku spontan mengucapkan 'aku-kau' ketika berbicara dengan orang-orang.

"Nanti malam." Aku langsung menganga mendengar jawabannya barusan. Nanti malam?! Gila saja! Mie instan saja perlu proses yang panjang, ini malah sebuah pernikahan yang instannya melebihi mie instan.

"Sungguh? Mana boleh secepat itu, hah? Asal kau tahu saja, jika di duniaku, menikah itu perlu persiapan tiga bulan, bukan beberapa jam! Jangan bilang kau akan membuat pernikahan tertutup secara sembunyi-sembunyi, serta tak akan ada tamu yang datang begitu, hah?!" omelku cukup panjang padanya.

"Tentu. Lagi pula siapa yang bilang jika pesta pernikahannya akan semeriah pesta rakyat? Kau ada-ada saja," jawab Juna. Belum apa-apa aku sudah dibuat kesal, bagaimana nanti jika sudah menikah?!

Hilang sudah impianku untuk menikah ala-ala putri kerajaan yang mengenakan gaun bagus serta berdansa di tengah-tengah ruangan luas dengan gemerlap lampu-lampu cantik. Aku memilih tidak menghiraukan Juna. Kami hanya saling diam. Hm, membosankan sekali karena tidak ada handphone di sini.

Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Seorang pria tua muncul dari baliknya. Pria tua itu membawa tas selempang lusuh serta sebuah kendi di tangannya. "Jun, jangan bilang dia akan menyuruhku meminum jamu?!" Aku berbisik pada Juna. Paling malas jika diberi jamu aneh-aneh dari tabib. Apalagi di jaman ini belum ada obat pil atau kapsul, pasti dari dedaunan yang sudah pasti rasanya pahit.

"Aku tidak tahu, Na. Kau kira sebelumnya aku pernah menikah? Tidak, ini pertama kali bagiku," jawab Juna. Benar juga, sih. Itu artinya aku adalah wanita beruntung yang pertama kali menikah dengan Juna. Meski nantinya akan berpisah, tetapi aku merupakan menantu pertama di sini.

Behind The Choice [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang