🐇40. Maaf untuk Semua

122 11 3
                                    

Aku agak kurang suka sama part kemarin. Kayak nggak ngena aja gitu. Kalau menurut kalian gimana?

Nah, jadi aku up lagi part ini buat melengkapi part sebelumnya yang aku rasa sangat kurang.

Jangan lupa vote komen, ya Sayangkuhhh!

Jangan lupa vote komen, ya Sayangkuhhh!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐇🐇🐇

Entah apa yang laki-laki itu katakan, terdengar seperti ancaman. Kenapa aku harus menyesal kalau tetap bersama Juna? Toh, tanpa ia suruh pun, aku tetap akan pergi dan kembali ke duniaku, karena memang sudah seharusnya begitu.

Satu hal yang langsung teringat di otakku. Kalian ingat tidak dengan seseorang yang mendorongku saat acara memanah di Phrysona? Nah, jubah yang laki-laki tadi gunakan itu sama persis seperti orang yang mendorongku kala itu. Atau jangan-jangan ....

Dia adalah orang yang sama.

Aku memutuskan tidak kembali ke istana. Kakiku membawaku ke hutan yang sepi. Tak peduli, mungkin sekarang Juna sedang asyik makan dengan Rosalind. Silahkan saja ambil suamiku, jika laki-laki itu mau.

"Wulan!" teriak seseorang yang tidak terlalu keras. Wulan? Memangnya ada Wulan di sini?

Aku berbalik badan untuk melihat siapa yang memanggilku barusan. Di sana, tepatnya di ujung jalan setapak, aku melihat Van. Ia berdiri dan hanya diam. Mampus aku!

Tanpa pikir panjang, aku berlari meski sedikit pincang karena terjatuh tadi. Aku berlari sebisaku, tetapi terdengar suara kalau Van juga mengejarku. "Wulan, tunggu!" Aku segera berhenti mendadak saat Van menahan tanganku. Membuatku menoleh.

"Apa?" tanyaku, seolah aku adalah Wulan. Ish, kau salah orang, Van!

"Jangan menghindar dariku, aku mohon ...." Van terlihat sangat tulus memohon. Sayangnya, aku tidak akan pernah mau mendukung rencanamu itu, Van. Jahat sekali kau ingin mengorbankan orang lain demi tahta.

"Antar aku pulang. Jangan panggil aku Wulan lagi. Aku adalah Shana, istri dari saudaramu." Aku berbicara tanpa menatap pada Van. Sekarang entah kenapa aku jadi melihatnya dari sudut pandang yang lain. Dia bukanlah Van yang aku kenal saat pertama masuk ke dunia ini. Terlebih lagi adegan di mana ia berani menyusup masuk ke kamarku malam itu, membuatku jadi tidak bersimpati lagi dengannya.

Bukan tanpa alasan aku memintanya mengantarku pulang. Aku mana tahu jalan menuju ke istana Juna. Aku harus segera pulang dan memanggil Wulan di cermin itu lagi.

"Mari, aku antar." Van berjalan duluan, ia berjalan menuju ujung jalan setapak yang tadi, meski sekarang terlihat jelas kalau tangannya sedang mengepal. Ia marah?

Aku hanya mengekor mengikutinya.

Sampai di ujung jalan, hanya ada satu kuda di sini. Hah? Masa iya aku harus naik satu kuda dengannya? Yang ada nanti ia malah mencari kesempatan. "Hanya satu kuda?" tanyaku celingukan, siapa tahu ada kuda lain.

Behind The Choice [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang