🐇3. Kejadian Aneh

532 98 87
                                    

🐇🐇🐇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐇🐇🐇

"Lo yang bener aja, Na?! Lo beli kelinci?" tanya Henry yang terlihat sangat terkejut saat aku memberitahunya jika aku membeli seekor kelinci. Pagi ini aku sudah ada di kafe, berhubung ospek dimulai jam dua belas siang, aku tadi menelepon Henry agar datang ke kafe. Aku ingin meminta sarannya dan Nina tentang kandang murah untuk Juna.

"Y-ya-iya, sih, gue kemarin bilang lo harus cari temen buat nemenin lo biar nggak sendirian. Tapi nggak kelinci juga, Na. Maksud gue, tuh, manusia gitu, loh. Terus kalo ospek nanti kelinci lo mau lo bawa, gitu?" tanyanya semakin heboh. Sedangkan Nina hanya menyimak obrolan kami

"Iyalah. Eh, tapi kalian tau nggak, sih? Kakek yang jualan kelinci itu tiba-tiba ngilang pas selesai ngasih gue kalung kelinci. Kan, aneh banget, ya."

Setelah aku mengatakan itu, Nina langsung mendekatkan kursinya padaku. "Jangan-jangan itu Kakek-kakek hantu, Na? Terus yang dikasih ke lo itu juga kelinci jadi-jadian? Hih ... serem amat. Lo ketemu Kakek itu di mana, sih?" Nina bergidik ngeri. Dia memang takut dengan hal-hal yang berbau horor, oleh sebab itu sepulang kerja ia selalu dijemput oleh saudaranya. Mana berani ia pulang sendirian?

"Di halte arah rumah gue, noh. Yang disebelahnya ada pohon gede. Tadi malem jalanan emang lagi sepi-sepinya, sih," jawabku.

"Di situ mah emang angker, Na. Lo nggak tahu emangnya?" tanya Henry. Ah, mana mungkin. Aku saja tidak pernah takut jika lewat jalan itu.

"Udah, deh, jangan nyebar hoax. Sekarang kalian ada kenalan yang jual kandang buat kelinci gue, nggak? Lagi butuh banget, nih," sanggahku melerai perdebatan tentang jalan sepi yang angker itu.

"Waktu itu, sih, temen gue jual kandangnya karena kelinci dia pada mati. Tapi nggak tahu sekarang udah laku atau belum," jawab Henry. Semoga saja belum terjual. Kalau beli kandang bekas siapa tahu harganya lebih murah, tetapi semoga saja kandangnya masih bagus dan layak dipakai.

"Ya, udah langsung telepon aja temen lu, Hen. Kasian Shana udah kebingungan nyari kandang buat kelinci ghaibnya itu," sahut Nina.

"Namanya Juna, bukan kelinci ghaib, woi! Udah cepetan telepon temen lu," titahku. Henry langsung menyalakan ponselnya, kemungkinan mencari nomor temannya yang ia maksud tadi.

"Halo, Bro." Henry berbicara pada seseorang di balik panggilan suara itu. "Ini, temen gue ada yang mau beli kandang kelinci, yang waktu itu masih ada, kan? Udah laku apa belum?" tanyanya. Ia kemudian diam sejenak mendengar jawaban dari temannya yang tidak bisa terdengar olehku karena Henry tidak menyalakan fitur load speaker.

Henry tersenyum ke arahku sambil mengacungkan jempol. Ia kembali menyahuti temannya. "Oke, anterin sekarang aja. Gue di kafe." Setelah itu Henry kemudian mematikan panggilannya. "Masih ada, Na. Tenang aja, lagi jalan ke sini orangnya."

"Rumahnya di mana? Jauh ngga?" tanyaku bersemangat karena tidak sabar melihat kandangnya.

"Nggak jauh, selisih dua rumah dari kafe ini." Aku hanya mengangguk mendengar jawaban dari Henry. "Nah, tuh, orangnya," tunjuk Henry pada seorang laki-laki yang menuju ke arah kami sambil menenteng kandang yang lumayan besar.

Setelah laki-laki itu sampai, Henry melakukan tos dengannya. "Dilepas berapa, nih, Bro? Oh, iya, ini yang mau beli. Namanya Shana."

"I-iya, Kak, langsung aja. Berapa duit, nih, Kak?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Seratus lima puluh aja, ini aku belinya tiga ratus ribuan," jawab pria tadi dengan cepat. Kandangnya juga lumayan masih sangat bagus, dia juga melepasnya setengah harga.

"Angkut, deh, Kak. Bentar." Aku mengambil dompet kemudian mengambil satu lembar uang seratus ribu dan satu lembar lagi uang lima puluh ribu. Ternyata ini adalah uang terakhirku karena tadi pagi aku membeli banyak wortel untuk Juna. Aku berpikir sejenak, gajian pun masih besok lusa. Lalu nanti malam aku makan apa?

"Na? Kok, bengong? Jadi, kan?" tanya Henry.

Tak apalah, aku masih bisa makan apa yang ada. Yang terpenting Juna punya kandang dan stok makanan. "Jadi," jawabku tegas, lalu memberikan uangnya pada teman Henry.
...

Setelah selesai, aku langsung pulang agar bisa secepatnya menunjukkan kandang baru ini pada Juna. "Juna ... liat, nih, aku bawa sesuatu buat kamu!" Aku memanggil Juna saat membuka pintu kamar. Juna terlihat masih tidur di kasur. Aku lanjut mengelap kandang baru milik Juna yang terlihat sedikit berdebu.

Juna terlihat mengedipkan mata berulang kali lalu bangun dari tidurnya. Ia kemudian duduk dan memperhatikanku. "Ini kandang buat Juna. Nanti kalau aku ospek sampe sore, kamu ikut biar nggak sendirian di rumah." Aku mengajak bicara si Juna. Entah tahu maksudku atau tidak, ia seakan mengedipkan satu matanya. Lucu sekali.

Setelah mengelap kandang, aku lanjut bersiap-siap sarapan. Ya, walaupun uang habis, tetapi masih ada roti sisa sarapan kemarin di kulkas. Itu sudah cukup untuk mengganjal perutku. Saat aku membuka kulkas, sepotong roti sudah tidak ada. Aku keheranan ke mana roti yang sudah tinggal separuh itu? Aku tidak lupa, tadi malam masih ada, kok. Sungguh!

Mana perutku sudah lapar sekali, malah satu-satunya rotiku hilang. Ya, sudahlah mungkin aku harus berpuasa hari ini sampai lusa. Eh, tetapi, aku merasa ada yang berbeda di meja makan. Tudung saji yang awalnya tidak terpasang, sekarang malah terlihat tengkurap di meja makan. Apa aku lupa mengangkatnya, ya? Seingatku kemarin, di meja makan tidak ada makanan sama sekali, maka dari itu tudung sajinya aku taruh di paku tembok dekat kompor.

Aku membuka tudung saji karena ingin menaruhnya ke tempat semula, tetapi malah aku dikejutkan dengan banyak makanan saat tudung saji di buka. Aku hanya bisa melongo keheranan melihat banyak sekali makanan di meja. Seperti cerita keong mas saja. Ada ikan goreng, ayam goreng, nasi, semur jengkol, dan segelas susu putih.

Masa bodolah , aku tak peduli siapa yang menaruh makanan hingga sebanyak ini di rumahku. Yang jelas untuk sekarang, aku sudah kelaparan. Jika nanti pemilik makanan ini datang dan memarahiku karena mengambil makanannya, aku berbalik saja menyalahkannya. Siapa suruh menaruh makanan di rumah orang!

Aku segera mengambil nasi serta ikan dan semur jengkol. Sumpah demi apa
pun, ini enak sekali, seperti masakan restoran!

Saat aku sedang makan, Juna terlihat berlari ke dekat kakiku. Aku menggendongnya ke pangkuanku dan mengajaknya bicara. "Juna, masa tiba-tiba ada makanan di meja makan, coba? Aneh banget, kan, ya?" Mata Juna terlihat berkaca-kaca. Aku mengambil mangkuk kecil lalu menuangkan susu dan memberikannya pada Juna. Ia terlihat sangat menyukainya dan meminum susu sampai habis.

🐇🐇🐇

🐇🐇🐇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Behind The Choice [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang