Ella menopang dagu dengan cemberut. Acara komedi yang ada di televisi besar yang ada di kamar Emran tidak berhasil menarik perhatiannya.
"Emi!" panggil Ella kesal lalu mendudukan diri. "Emran sungguh pergi begitu saja?" tanyanya kian menekuk wajah.
"Benar, nyonya. Tuan Emran tiba-tiba di panggil tuan Samuel untuk segera ke Meksiko.."
"Samuel?"
"Beliau ayah dari—"
"Meksiko, aku ingin pergi kesana!" potong Ella dengan sebal.
Emi memilih diam tidak bisa berbuat banyak selain menjaga nyonyanya. Emran akan membunuhnya jika Ella terbunuh atau tersakiti.
"Telepon Emran, Emi. Se.ka.rang!" tekannya begitu keras kepala.
Emi menelan ludah lalu mencoba mengirim pesan terlebih dahulu.
"Emi! Kau lama sekali!" Ella merampas ponsel Emi.
"Jangan nyonya, tuan bisa marah pada saya," Emi memelas.
Ella menghembuskan nafas kesal lalu memberikan ponsel itu pada Emi lagi dan dia mencari ponselnya.
"Dimana ponselku?"
"Tuan—"
"Mengambilnya?!" seru Ella dengan kesal.
"Tidak, nyonya." Emi menelan ludah, Ella hari ini begitu sensitif. Apalagi saat tahu Emran pergi dan akan cukup lama disana.
"Tuan berkata, ponsel nyonya ada di dekat lemari tas.."
Ella terdiam sejenak. Dia lupa soal itu. Diakan yang menyimpannya di sana sebelum pergi mandi.
"Tuan juga berpesan, agar nyonya tidak mengabaikan pang—"
Emi menghela nafas sabar saat Ella pergi begitu saja untuk mengambil ponselnya.
***
"Aku ingin ikut! Kau pikir aku sungguh penghangat ranjang?! Kau tinggalkan setelah membuatku kesulitan berjalan!" raung Ella emosi.
Emran terlihat santai di sebrang sana sambil menikmati sore di pulau pribadi ayahnya.
"Daddy belum mengizinkan kau kesini, suatu saat akan kubawa."
"Aku ingin sekarang!" seru Ella tak ingin dibantah.
Emran menatap Samuel yang datang bersama dua pengawal kepercayaannya. Bisa dibilang mereka tangan kanan dan kirinya.
Kanan membereskan tempat eksekusi dan kiri membunuh pengkhianat. Keduanya bekerja hampir 10 tahun dengan Samuel. Khususnya semenjak Emran turun tangan menjadi pemimpin di negara X, Y, Z lalu Samuel berhenti aktif dan membiarkan Emran lebih aktif.
"Akan ku bicarakan dengan daddy,"
"Aku ingin hari ini! Aku tidak terima ditinggalkan bagai sampah begitu saja!" suara kesal Ella mulai bergetar dan tangis mulai terdengar.
Emran menghela nafas. Kini Tarjannya menjadi bayi yang rewel. Dia tidak bermaksud meninggalkan Ella setelah malam panjang.
"Akan ku telepon nanti, istirahatlah dan berhenti berpikiran buruk," Emran mematikan sambungan begitu saja.
Emran mulai berbincang dengan Samuel dan Ella ngamuk di kamarnya sampai televisi tidak sengaja dia pecahkan karena lemparan beberapa barang.
"Astaga!" Ella syok setelahnya. Dia bagai hulk kerasukan.
Emi juga sama memucat walau bisa saja tuannya mengganti itu tapi bukan itu masalahnya, melainkan wajah Ella. Ada goresan kecil akibat pecahan televisi yang terlempar.
Ella menyentuh sesuatu yang mengalir di pipinya.
"Nyonya.." Emi bersimpuh lemas. "Tamatlah riwayat saya, tuan akan sangat marah besar," isaknya.
Ella mengerjap lalu meringis. Sakit baru terasa. "Tenang saja Emi, aku akan menjagamu, asal jangan gatal padanya! Dia milikku sekarang," tegasnya.
Emi mengerjap. Melihat tuannya saja takut, dan kesulitan bernafas apalagi bertingkah— astaga! Dia akan pingsan sebelum mulai.
Ella tanpa sadar menjadi posesif. Dia takut tidak ada yang mau dengannya karena sudah hilang virgin. Pikirnya dengan begitu bodoh.
Ella kembali meraih ponsel dan terus mendial nomor Emran sampai Emran mau mengangkatnya namun tidak kunjung diangkat.
Ella menangis lagi sampai sehari semalam dia lewati dengan merenung dan sedih. Ella pun kembali tidur di hari kedua.
Emran sungguh tidak ada kabar.
Ella terlihat lelap dengan kondisi berantakan.
Emran menatap televisi yang sudah tidak ada di tempatnya. Dia juga sudah tahu kabar itu. Dasar tarjan liar.
Emran mendekati Ella, mengusap rambut kusutnya lalu ke pipi yang terluka. Ella meringis dalam tidurnya.
Emran berhenti lalu masuk ke dalam selimut, dia kecupi bahu Ella dan rahangnya sampai Ella menggeliat dan perlahan terjaga.
"Engh?" Ella mengerjap masih mengumpulkan nyawa walau sudah bersitatap dengan Emran yang terlihat tampan dan wangi.
"Bukankah kau ingin pergi ke Meksiko, bersiaplah.. Daddy menunggumu di sana," bisiknya lalu mencuri kecupan di bibir Ella sekilas dan rebahan terlentang tidak memeluk Ella lagi.
Ella mendudukan tubuhnya dan berbalik menghadap Emran. Ella terlihat kembali marah dan memukuli Emran dengan kesal.
Emran hanya diam dijadikan samsak. Hingga tak lama Ella kelelahan sendiri.
"Kau menjadikanku sampah! Kau meninggalkanku bagai wanita panggilan! Akan aku adukan pada papa, mama, kau harus tanggung jawab!" isak Ella diselipi marah.
Emran hanya diam menatapnya tak terbaca.
"Kau itu milikku! Dan aku bukan mainanmu!" Ella meremas kemeja di bagian perut Emran sampai kusut.
Emran berdesir mendengarnya. Dari lahir sepertinya dia memang milik tarjan berisik, cengeng dan manja di depannya.
Emran dilahirkan dan dididik keras hanya untuk menjadi pelindung Ella.
Emran mengusap air mata itu sekilas. "Aku milikmu, kau pun milikku, Ella.." lalu dia tarik dan peluk.
Ella merasakan detak jantung Emran tepat ditelinganya. Begitu kencang. Ella mulai rileks saat kepalanya diusap-usap.
Ella tidak jadi kembali mengantuk dan dia benar-benar kembali terlelap.
***
Emran membuka matanya saat merasakan pergerakan Ella di sampingnya lalu melirik jam di dinding.
Ternyata hari sudah sore. Dia terlelap cukup lama dengan Ella di pelukannya. Emran pun segera turun dari kasur.
Emran akan memesan tiket lagi. Harusnya dia dan Ella berangkat siang. Keduanya malah tidur.
Ella menggeliat dan mulai membuka mata.
"Apa kita sudah sampai di Meksiko?" tanya Ella serak nan polos. Sepertinya Ella bermimpi sudah sampai di sana.
Emran tidak merespon, dia meregangkan otot leher dan lengannya yang kebas.
"Ini seperti di kamar," Ella mendudukan tubuhnya.
"Berhenti jadi bodoh, cepat bersiap!" Emran mulai membuka ponselnya dan mengatur ulang semuanya.
Ella manyun menatap kepergian Emran dengan kesal namun detik selanjutnya dia tersipu. Dia teringat ucapan Emran soal kepemilikan.
Ella jadi senang tiba-tiba. Apakah ini saatnya dia tidak jomblo? Papanya pun seperti merestui hubungannya dengan Emran.
Ella senang jika itu dengan Ardi. Emran adalah Ardinya yang dulu. Ella mencoba menghilangkan kebenciannya di masa lalu.
"Setelah menjadi bodoh, kini menjadi gila? Ada apa dengan senyum joker itu, Ella?" goda Emran dengan wajah datar. Bibirnya tersenyum samar.