"Ardi?" Ella bergegas turun dari kasur membuat Emran yang berada di kursi kerja yang tak jauh dari kasur menoleh.
"Aku ingat sekali, ini Guardian! Ardi! Kak Ardi!" serunya nyaring dan heboh sendiri sambil memegang bingkai anak kecil yang di foto berdiri dengan tanpa ekspresi.
Kehebohan Ella sontak berhenti lalu menatap Emran dengan cepat. Tidak mungkin jika Emran itu Ardi!
Sosoknya berbeda jauh dengan Ardi yang kurus, datar dan putih pucat penuh bekas luka. Emran terlalu berbeda.
Dia sawo matang menggiurkan dengan otot-ototnya, wajahnya lebih galak, tatapannya sangat tajam dan tak lupa tatto yang membuatnya semakin beraura gelap.
Ella sampai tidak mengenali Ardi jika benar Emran itu laki-laki yang bermain bersamanya di taman bermain.
"Ada apa?" datar Emran sambil terus balas menatap tatapan Ella yang memindai syok, kebingungan dan tidak fokus.
"Kau bukan anak ini, kan?" Ella menggeleng samar, pasti bukan. Ella menahan nafas menunggu jawabannya.
"Rupanya kau tidak melupakanku.."
Ella sontak menghembuskan nafasnya kaget dan tak percaya. Mulutnya agak menganga saking terkejut.
"Tidak!" Ella menyimpan foto itu lagi lalu menatap jajaran foto lain yang memang menempel di dinding kamar Emran. Ella baru ngeh ada itu.
Bukti pertumbuhan Ardi ada di depan matanya hingga yang terakhir. Dia Emran dengan pria matang yang mirip dengannya. Sama kekar. Pasti itu ayahnya.
Ella mundur selangkah, Emran benar-benar Ardi yang dia kenal saat kecil dulu. Ella semakin membencinya.
Ella dulu ingin bermain lagi, tapi kata papanya Ardi menolak. Terus saja menolak ajakannya sampai Ella benci dan tidak mengajaknya lagi lalu muncullah Deliza. Membuat dia berhasil melupakan Ardi sepenuhnya.
Emran beranjak, mendekati Ella lalu membelit tubuhnya hingga kembali tidak menginjakan kaki di lantai.
Ella menoleh ke belakang dengan kaget, memegang erat lengan Emran agak takut.
"Kau merindukannya?" bisik Emran dengan suaranya yang maskulin nan seksi.
Ella menelan ludah. "Aku membencinya. Sangat membencinya dan kini setelah tahu bahwa dia adalah kau, aku teramat sangat sangat memben— mpht!" Ella melotot lalu meronta.
Emran jelas kembali menang dan Ella kembali membuang tenaganya dengan sia-sia.
Emran menjauhkan wajahnya saat bibirnya berdarah karena berhasil Ella gigit. Mendapat perlakuan itu, Emran malah semakin bergairah.
"Ha~ Ha~ kau!" Ella terengah penuh emosi.
"Bukankah kau sudah berjanji akan memberikanku bibir, jangan lupakan itu," Emran melempar Ella ke kasur sampai terpental. "Tidurlah." dan Emran kembali ke meja kerjanya tanpa peduli teriakan penuh amarah dari tarjan yang harus dia lindungi sepanjang hidupnya.
Ella terus misuh-misuh, menarik selimut dan memunggungi Emran. Ella pun bisa diam namun pikirannya yang tidak bisa diam.
***
Ella membuka matanya cepat saat matahari menyapanya. Sekitar pun terasa hangat. Entah siapa yang membuka tirai, mungkin Emran.
Ella memang sudah terbangun, namun memilih melamun dulu sambil mengumpulkan nyawa. Ella terlihat berantakan dengan rambut kusut dan muka bantalnya.
Ella menyentuh kasur kosong di sampingnya, terasa hangat dan semerbak tercium wangi Emran.
Apakah dia semalam tidur di sini? Bukankah dia bilang hanya akan bekerja lalu tidur di kamar tamu?
Ella menghela nafas sebal. Dia tidak peduli yang penting tubuhnya aman.
Ella pun mendudukan tubuhnya beberapa saat kemudian turun dari kasur, memakai sandal lalu ke kamar mandi.
Ella mandi dengan mengerang nyaman. Air yang menyentuh tubuhnya terasa nikmat membuatnya ringan.
Ella menyabuni tubuhnya lalu membilasnya lagi sambil melamun soal Ardi yang ternyata Emran.
Jika memang Emran Ardi, itu tandanya Emran memang tidak akan membiarkannya terluka. Ella masih ingat yang di katakan Darka padanya.
Soal Ardi yang akan menjadi malaikat pelindung selama Ella hidup dan Ardi hidup.
Awalnya Ella berpikir itu omong kosong karena Ardi tidak mau bermain dengannya, terus menolak kehadirannya.
Tapi kini dia datang melindunginya dari masalah yang terjadi.
Ella jadi penasaran kenapa Emran harus menjaganya seumur hidup. Eits tunggu, memangnya itu benar dan masih berlaku? Bisa saja Emran melakukannya karena terpaksa.
Ella menduga Emran memiliki bisnis gelap.
Ella berhenti melamun, dia mulai menikmati guyuran air dengan penuh erangan lega. Anggap saja ini hiburan di kala penat dan membingungkan keadaannya.
"AKH!" Jerit Ella terperanjat kaget hampir tergelincir namun beruntungnya tubuhnya dibelit erat.
Tunggu!
Ella menoleh dan hendak berteriak kencang namun Emran bungkam. "Di sini bukan hutan, berhentilah berteriak seperti tarjan, Ella!" kesalnya di depan wajah Ella yang masih dibekap.
"Emmgghrt!" Ella melotot panik. Masalahnya dia sedang mandi, itu tandanya tidak memakai apapun.
Sejak kapan Emran ada di kamar mandi?
Dan jawabannya dari awal Ella mengguyur tubuhnya, mengerang dengan seksi lalu terdiam dan kembali mengerang keenakan di bawah guyuran itu.
Emran sampai mengeras di celananya.
"Kau ingin bermain? Belanja? Liburan? Akan ku kabulkan, dengan syarat, bantulah aku keluar." bisiknya.
Ella melotot saat merasakan sesuatu menusuk perutnya. Ella baru sadar soal itu.
Ella mengerjap beberapa kali saat melihat tatapan Emran terlihat frustasi. Baru kali ini dia bisa membaca ekspresi Emran.
Biasanya sulit di baca.
Apa pedang keras itu membuatnya tersiksa?
Ella terpejam dan kembali berontak saat bibir Emran menyasar leher basahnya, membuat guyuran air menyentuh tubuh keduanya.
Emran yang membuat Ella menelan ludah dalam bekapan pria itu. Emran terus mengecupi bahu dan lengan Ella lalu berpindah.
Ella melotot, tubuhnya terasa tersetrum. Refleks dia akan menendang s*langkangan Emran namun dengan Gesit Emran cegah, dan berakhir Emran menggendongnya hingga Ella menghantam dinding kamar mandi saat Emran sandarkan di sana.
Ella meringis pelan walau tidak terlalu sakit. "Kau gila! Kau— mphht!" Ella meronta hingga ciuman itu terlepas.
"Kau yang ceroboh! Pintu tidak dikunci sama dengan memancingku!"
"Apa?! Aku menguncinya!" Ella tidak terima, dia sudah menguncinya! Mungkin..
"Sstt.. Kau tidak merasakannya?"
Ella melotot lalu melenguh kelepasan saat Emran menggesekannya. "TIDAK LEPAS!" panik Ella.
"Kau sungguh akan menolak kesempatan untuk tidak terus terkurung di sini?" suara Emran terdengar serak.
Ella mencengkram bahu Emran, menahan reaksi dari perbuatan seenaknya Emran.
"Aku tidak ingin kehilangan, V*rginku!" Ella menahan suara panasnya sekuat tenaga.
"Tidak akan sampai hilang," bisik Emran semakin serak.