Ella merasa serba salah. Perutnya sudah sangat bulat. Berjalan tak jauh sudah mulai lelah. Cuaca juga sedang panas.
"Emran," panggil Ella dengan manjanya.
Emran menoleh. Menatap kedatangan Ella lalu menyambutnya dan membantunya duduk di sofa.
"Ha~ lelah, padahal hanya berjalan sedikit," Ella bersandar ke sofa sambil mengusap perutnya dengan lega.
Emran merangkul Ella. "Kau berkeringat, apa AC kurang?" tanyanya sambil menyeka keringat di pelipis Ella.
Ella menggeleng. "Cuacanya saja sedang panas, Sebelumnya aku dari balkon," jawabnya.
Pantas aja berkeringat. "Ada apa dibalkon? Sudah ku bilang, jangan pergi kebalkon, bisa saj ada peluru dari-"
"Jarak jauh?" Ella memotong dengan hafal.
"Lalu kenapa-"
Ella menekan telunjuknya di bibir Emran agar berhenti mengomelinya dengan wajah menyeramkan yang sialnya tampan itu.
"Aku hanya ingin menghirup udara yang ternyata panas sekali, hanya sebentar, Emi menjagaku,"
Emran menghela nafas pasrah. Dia menyingkirkan telunjuk itu, mengulumnya lalu dia kecup.
Ella menggigit bibir.
"Berhenti memasang wajah m*sum, sayang." ledek Emran yang langsung mendapat pukulan yang tak seberapa dari Ella.
"Kau akan lelah, berhenti, sayang.."
***
Ella mengusap bekas luka tembak yang mengering di lengan Emran, menatapnya agak ngeri. Dia pun memiliki bekas yang sama namun lebih ringan bahkan hampir pudar.
"Kau begitu kuat," Ella mendekat, menyandarkan pipinya di lengan Emran. "Kau sekuat itu untuk menjagaku selama hidupku, romantis sekali.." gumamnya.
"Hm, aku romantis bukan? Hidupmu lebih penting dari hidupku sendiri," Emran memeluk Ella dengan masih terpejam.
Dasar Ella, untung dia istrinya. Berani sekali mengganggunya yang sedang terlelap.
"Bagiku, hidupmu lebih penting dari hidupku, maka dari itu, jangan berkorban, aku tidak ingin hidup jika tidak ada kau!" tegasnya manja, balas memeluk walau terhalang perut.
"Argh.." Ella tersentak kaget. Masih saja selalu kaget jika ada pergerakan di perutnya.
Emran juga agak kaget merasakan itu walau tidak terekspresikan.
"Dia menyapaku," kekeh Emran lalu beringsut ke bawah, mengsejajarkan wajahnya dengan perut Ella yang tidak ditutup apapun.
Tubuh mereka memang masih polos bekas pergulatan singkatnya.
Ella terpejam meniknati kecupan dan geliatan bayi di perutnya. Ternyata begini rasanya hamil walau serba kesulitan dan sesak.
"Kita harus membeli barang untuk anak kita, Emran.."
"Beli saja," Emran kembali naik dan memeluk Ella.
"Kita berdua harus pergi," Ella mendongak agar bisa bersitatap dengan Emran.
"Bukankah kau sedang mudah lelah?"
Ella menggeleng. "Aku akan berhenti jika lelah," jawabnya meyakinkan Emran agar mengizinkannya pergi.
Emran terdiam sejenak. "Aku akan bicarakan dulu dengan daddy," balasnya.
Ella menghela nafas pasrah. Dari kecil selalu saja tidak bebas. Dia harap anak-anaknya tidak merasakan itu
Emran anteng bermain. "Ternyata memang ASI yang kusedot," Emran menutup Ella dengan selimut.
"Kalau begitu kau anakku," kekeh Ella.
"Tidak buruk, aku akan memintamu untuk selalu memberiku makanan itu," bisik Emran setelah jemari Ella dibuat hinggap di miliknya.
"Kotor sekali," Ella mencubit bibir Emran gemas.
"Aku sungguh senang memiliki penerus, kelak aku ingin perempuan," bisik Emran lalu menjilat pipi Ella usil. "Daddy begitu senang, dia mendadak sehat dan bersemangat saat mengetahuinya.." lanjutnya.
"Kapan daddy kemari?"
"Mungkin bulan depan. Kau pun bisa pulang ke rumah, bertemu mama, papa.. Pengawal akan menjaganya.. Mulai bulan depan kau boleh mengunjungi rumah,
"Tanpa kau?"
"Tidak bisa. Aku harus selalu ada disampingmu,"
Ella tersenyum cerah itu bagus.
"Oh iya.." Ella menghela nafas. "Kasus Arsa sudah benar-benar selesai, Deliza sudah membantu walau sedikit dan dimana dia sekarang?
"Tidak ada."
"Maksudmu?"
"Dia hanya menghilang, mungkin mengganti identitasnya." jawab Emran santai terkesan malas.
"Tidak boleh terlalu sadis, Emran. Aku tidak ingin anak kita yang menanggung karma orang tuanya." rengek Ella.
"Baiklah," Emran mengecup kening Ella lama nan dalam. Ella tertawa pelan sambil mendorong wajah Emran.
"Kau ingin membuatnya bolong, ha?!" gemas Ella.
Emran mengulum senyum, menghisap pipi Ella hingga Ella tertawa pelan dan mendorongnya lagi.
"Kau terlalu cantik, sayang. Rasanya aku ingin membuatmu terus hamil,"
Ella menampar manja pipi Emran. Keduanya tertawa bersama saling memberi kecupan jahil tak mau kalah.
Dan berakhir saling berciuman. Saling menyentuh, mengusap dan meremas lembut. Ella mendesah lirih dalam ciuman Emran yang selalu memabukan itu.
Emran mengusap bulatnya perut Ella lalu mengecupinya.
"Aku ingin mengunjunginya," bisik Emran serak sambil kembali mendekat ke wajah Ella dan mengecupnya.
"Kita harus pergi," Ella menolak manja. Dia sungguh sedang ingin belanja.
"Baiklah," Emran tidak akan memaksa.
Ella menciumi pipi Emran sebagai respon terima kasihnya. Emran hanya menerima dengan tenang.
"Bersiaplah, aku akan mengurus sesuatu dulu,"