Ella melirik ponsel Emran. Dia ingin meminta nomor Luna tapi saat Emran bertanya untuk apa dia harus menjawab apa?
Ella terlihat gelisah ragu. Dia sedang dilanda penasaran tapi Emran tak mau bercerita dan seolah malas bercerita.
"Kau sedang apa?"
Ella terperanjat sampai sekaget itu membuat alis Emran bertaut. "Ambilkan aku air," pintanya lalu meraih ponselnya.
Ella bergegas mengambil air. Jantungnya berdebar begitu kencang saking kaget.
"Emran, aku ingin tahu tentangmu, bahkan dari kecil," rengek Ella setelah memberikan segelas air dan Emran meneguknya.
"Tidak ada yang penting, tidurlah.."
Ella menatap kesal. "Aku ingin bertemu Luna! Aku ingin tahu semua tentangmu!" teriaknya tegas.
"Tidurlah."
"iissshh! Emran, aku bahkan belum ingin tidur!" Ella merengek kesal, menggerakan kakinya mendang paha Emran pelan.
"Kita tidak bisa bercinta, sayang.." santai Emran sambil menyerahkan gelas itu pada Ella agar dia simpan.
Ella menggenggamnya kesal. "Aku bukan ingin bercinta! Kau menyebalkan!" raungnya lalu turun dari kasur dan menyimpan gelas itu ke tempat semula.
Ella meringkuk di sofa empuk yang ada di kamarnya, seolah sedang merajuk. Emran menatapnya datar.
"Berhenti bertingkah menggemaskan, kemarilah,"
Ella semakin menekuk wajahnya kesal. Dia benar-benar marah.
***
"Emran," Ella tak bisa lama marah, apalagi Emran tidak membujuknya sama sekali. Dengan gengsi yang pudar, dia merangkak ke atas kasur. "Kau tidak membujukku!" dumelnya lalu rebahan dengan merapatkan punggungnya pada perut Emran yang menyamping.
Lengan yang di perban itu tidak kesakitan saat memeluk Ella.
Ella menatapnya. "Kau sungguh merasa luka ini bagai goresan pisau buah?" tanyanya. "Kau seperti tidak memiliki rasa sakit," lanjutnya.
"Aku sakit."
"Kau tidak terlihat begitu." datar Ella. Dia tidak bodoh.
"Ck! Apa aku harus meringis dan merengek padamu?" bisik Emran.
"Bukan begitu," Ella menekuk bibirnya.
"Seperti ini? Sayang, tiup lukaku, kecup dia agar cepat sembuh, ini sungguh menyakitkan,"
Ella melongo benar-benar terkejut syok mendengar nada yang sering dia pakai ditiru Emran.
Sama sekali tidak cocok.
"Kau merasa aneh bukan? Berhenti berpikir yang aneh, besok Luna akan kemari jika kau ingin,"
Ella menelan ludah, mencoba menepis rasa terkejutnya. "Tentu aku ingin! Aku ingin tahu semua hal yang menyangkut dirimu," kekeh Ella genit.
"Romantis sekali,"
"Kau mengeras?"
"Kau merasakannya?"
"Dia menusukku,"
"Kau ingin menjinakannya?"
***
"Kau tinggi sekali!" omel Ella lalu menarik kursi kecantikan dan naik. Emran hendak marah namun dia pikir itu aman, dia pun urung marah.
Ella memasukan lubang pakaian ke kepala Emran. Pakaian tanpa lengan itu membuat Emran semakin kekar. Ella menyukainya.
"Kau seperti memiliki bayi,"
"Ya, kau bayi besar," dumel Ella lalu turun setelah mengecup hidung Emran jahil.
Emran tersenyum tipis sebagai respon kelincahan Ella yang Emran jaga agar tidak ceroboh.
"Ck! Sebentar," Ella memilihkan celana dalam dan celana rumahan. "Kau menyukai ini?" tanyanya.
"Hm.."
Ella menatap galak bagai ibu yang kesal karena diusili anaknya terus. Emran sampai terkekeh pelan, astaga istrinya menjadi kian menggemaskan dan cantik.
"Aku menyukai apapun yang kau pilihkan," Emran mengusap pipi Ella sekilas.
Ella pun mulai berjongkok memasukan satu persatu kaki Emran. Melihat itu Emran jadi berpikir yang tidak-tidak.
"Naikanlah perlahan," Emran menekan lembut kepala Ella agar mulai dari awal.
Ella menatapnya sebal, dia tahu maksudnya. "Apa aku harus menjinakannya lagi sebelum memasukannya ke dalam kandang?" sarkasnya menggemaskan di mata Emran yang kini tertawa pelan.
***
"Kau tidak bosan di rumah?" Emran menatap Ella yang membantunya memakaikan celana."Tidak, semua yang ku mau ada dan bisa dipanggil ke sini," Ella tersenyum manis lalu kembali fokus membantu suaminya berpakaian.
"Baguslah," Emran mengecup sekilas kening Ella.
"Aku ingin potong rambut," Ella menatap Emran, meminta persetujuannya.
"Tidak, kau indah dengan rambut ini," Emran mengusapnya.
"Baiklah, aku ingin makan sesuatu sebenarnya," Ella mengusap pakaian Emran tanda dia sudah selesai dengan tugasnya.
"Apa itu?" Emran mengusap dagu Ella yang kinu memeluk pinggangnya manja.
"Aku ingin sesuatu yang panjang, ada bulatnya-"
"Kau sedang mengkode milikku?" bisik Emran seraya menggesekan sekilas hidungnya.
Ella tertawa pelan, jebakannya berhasil. Padahal yang dia maksud itu mie dan bakso.
"Bukan itu, mie dan bakso tapi aku tahu aku dilarang memakan itu, jadi aku abaikan saja,"
Emran mengangguk. "Bagus. Kalian harus sehat, dia harus melihat dunia ini, kita harus membesarkannya.."
"Tapi tidak untuk jadi mafia!"
Emran tidak merespon. Jelas keturunanny harus meneruskan semuanya. Itu di bahas nanti saja.
Emran memilih mengecupi bibir Ella lalu mengulumnya, saling membelit lidah.
"Stop! Kurasa Luna akan segera datang,"