Ella mogok bicara. Dia marah dengan apa yang baru dia tahu. Dia tidak terima pernikahannya bagai permainan bisnis saja walau terdaptar resmi.
Ella marah pada orang tuanya juga. Kenapa tidak meminta izinnya dulu. Kalau dia tidak cocok dengan Emran bagaimana?
"Berhenti seperti anak kecil, Ella.." Emran masuk ke dalam kamar dan berdiri di dekat kasur Ella.
Ella tidak merespon, dia bahkan menepis Emran saat ingin melihat luka di lengannya yang mulai tidak terlalu sakit.
"Bukankah kau ingin memiliki suami? Kau memilikinya sekarang," Emran memaksa lengan Ella untuk dia lihat.
Mulai kering. Emran pun melepaskannya.
Ella membungkam mulutnya, terlihat gelisah namun masih tidak ingin bersuara.
"Ada apa?"
Ella hanya menggeleng dan berpaling dari Emran.
"Ada apa!" Emran jadi jengkel.
"Kau bau! Membuatku mual!" bentak Ella kesal. Bukannya membujuk, malah balik marah. Ella semakin marah.
Ella yang tak kuat lagi perlahan turun dari kasur, tidak menolak bantuan Emran. Dia ingin segera muntah.
"Maafkan aku, terimalah aku sebagai suamimu, Ella.."
***
Emran mencoba mendekati Ella setelah 3 jam dia sarapan agar tidak muntah saat menghirup baunya.
"Tidak bau," ucap Ella saat Emran mendekat.
Emran lega kalau begitu. Apa sungguh dia harus menjauhi ruangan gelap? Demi menjaga Ella dan bayinya sepertinya memang harus.
Emran merasa aneh dengan semua itu tapi dia melihatnya langsung. Saat Ella muntah-muntah dan mengeluh karena bau darah dari badannya walau sudah mandi berkali-kali.
"Hari ini tidak terlalu mual, dokter memberiku obat ini," Ella menunjuk ke nakas sekilas.
Emran hanya menatap Ella yang mau berbicara lagi padanya setelah dua hari memilih bisu.
"Kita akan segera pulang, mama dan papa ingin bertemu," Emran mengusap pipi Ella sekilas.
Tubuh Ella terlihat semakin kecil semenjak muntah-muntah. Bahkan semalam sempat masuk satu infusan.
Emran akan menuruti perkataan Samuel. Dia akan berhenti turun langsung dan membunuh para pengkhianat itu.
"Apa mereka sudah tahu soal kehamilanku?" Ella meraih jemari Emran, memainkan telunjuknya. Ella usap pelan.
Emran tidak menepisnya.
"Sudah."
"Apa mereka marah?"
"Tidak karena kau hamil memiliki suami,"
Ella terpejam sekilas. Merasa bodoh karena melupakan itu. Dia masih merasa tidak percaya sudah menikah saking tidak ada kenangan tentang itu.
"Aku ingin mengulang pernikahan! Aku ingin menikah sesuai dengan yang ku inginkan," Ella menundukan tatapan.
Apa Emran mau melakukan itu?
"Kau ingin melakukannya?"
Ella mengangguk.
"Kapan?" Emran menatap Ella lurus tak terbaca.
"Secepatnya,"
"Baiklah,"
Ella menatap Emran. "Sungguh? Kau tidak keberatan?" tanyanya.