27. Papa, Dia Keanu

203 21 3
                                    

Kay pasti sudah tidur kalau seseorang tidak dengan tiba-tiba membuka pintu ruang perawatannya. Mata sipit yang sudah memberat itu kembali terbuka.

Ada Ken di ambang pintu, tampak terkejut melihat Kay masih terjaga. Ken ragu untuk masuk.

"Kalau gak mau masuk tolong keluar, tutup pintunya." ucap Kay, dingin.

Ken menelan saliva, susah payah mengumpulkan keberanian, sampai akhirnya melangkahkan kaki masuk, duduk di kursi samping ranjang Kay.

"Hai," sapanya dengan bodoh. "Aku ... ganggu istirahatmu, Kay?"

"Hm," balas Kay singkat.

"Kalau begitu, aku keluar saja."

"Kak Ken."

Panggilan Kay menghentikan pergerakan Ken yang sudah setengah berdiri.

"Duduk," suruh Kay, membuat Ken kembali duduk.

Keheningan dan suasana canggung menyelimuti ruangan. Hanya detak jarum jam yang bersedia meramaikan.

Ken berulang kali membasahi bibir. Ia yang sudah mengganggu waktu istirahat Kay. Jadi ia yang harus memikirkan topik obrolan untuk membunuh keheningan ini.

"Mm, aku minta maaf, aku tidak memaksamu untuk memaafkan. Kamu berhak marah. Kamu berhak membenciku." kata Ken, hampir tanpa jeda.

"Gimana kalau aku gak bisa membencimu, Kak?" Kay menyunggingkan senyum tipis yang sarat akan kepedihan.

"Ajari aku cara membencimu. Bisa?" tanyanya.

Ken diam seribu bahasa. Tidak mampu menjawab, juga tidak rela jika Kay benar-benar membencinya.

"Perasaan memang hal terbodoh. Nekat mencintai hati yang berulang kali menyakiti. Mengusir pergi hati yang tulus ingin membersamai," ucap Kay pada langit-langit ruangan.

Ken cukup tahu, cukup paham ke mana arahnya.

"Di dunia ini siapa yang tidak kasihan? Siapa yang tidak berjuang melawan luka? Siapa yang tidak merasa hidupnya dijadikan mainan oleh semesta?"

Senyum Kay kembali terulas, kali ini tampak lebih lega, "Semesta memang suka bercanda. Ya, termasuk semesta yang kuciptakan sendiri sejak SMA." Kalimat terakhir cukup dikatakannya dalam hati.

"Jika memang semesta sebercanda yang kamu katakan, mari jangan memaknai luka dengan keseriusan. Mari belajar menganggap semua yang terjadi hanyalah mainan. Tanpa perlu meratapi kehilangan. Tanpa perlu mengharapkan apa yang tak kunjung datang."

Kay menoleh pada Ken tepat setelah lelaki itu memberi kesimpulan atas analisanya.

Ken tersenyum, sangat manis seperti biasa. Meski eye smile itu memberi tatap penuh rasa bersalah.

"Kak Ken ... "

"Ya, Kay?"

"Meski aku sangat marah, meski tindakan itu sangat tidak adil untukku dan kami para kaum tidak mampu, aku tau itu di luar kuasamu. Bukan kamu yang melakukannya, kan, Kak?"

"Tetap saja itu perbuatan mamaku, Kay. Tetap saja aku sempat ingin menjadiknnya tempat lain selain makam. Jadi, aku tetap bersalah di sini." sanggah Ken.

Kay menarik napas panjang, memejamkan mata cukup lama, lalu kembali membukanya untuk menatap Ken.

"Papa sudah kembali ke sisi Tuhan, yang pernah aku tangisi hanyalah jasadnya, yang pernah tidak bisa kulepas adalah tempat peristirahatannya. Tapi sekarang aku sadar.

"Aku udah gapapa. Lanjutin, Kak. Klinik bukan tempat yang buruk. Papa dan para ahli kubur lainnya pasti akan bangga kalau peristirahatan terakhir mereka dijadikan tempat yang bermanfaat."

Hai, LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang