Langit juga menjalani takdirnya. Ia sesekali gerimis untuk menangis. Terkadang air matanya dengan deras mengucur saat benar-benar hancur.
Demikian pula bumi. Ia bisa retak saat muak. Tanahnya akan luruh saat rapuh. Lalu laut, ketika hatinya suntuk ombaknya mengamuk.
Hei, alam semesta pun menjalankan takdir dari Yang Maha Kuasa. Mereka sama lelahnya. Sama-sama ingin beristirahatnya walau hampir tidak bisa.
Waktu tidak pernah berhenti barang sedetik. Matahari senantiasa terbit dan terbenam.
Langit tak bersuara, kemarau dan penghujan tetap datang silih berganti. Bumi tak pernah bicara, tapi manusia lahir dan mati setiap hari.
Apa yang sudah ditakdirkan terjadi, maka akan terjadi.
Sekali pun burung besi membawanya membumbung tinggi hendak meninggalkan negeri ini, kesalahan teknis dan deru napas langit yang memburu menghempas jatuh tubuhnya hingga bibir pantai.
Mikayla hilang satu pekan lamanya. Tim SAR menemukan tubuh bekunya di antara puluhan tubuh beku lainnya.
Badan mungil dengan punggung rapuh itu dingin diterpa ombak ringan. Darah di kepalanya akibat terhantam batu besar telah lama mengering.
Hanya Kun fayakun Tuhan yang masih memberinya kesempatan bernapas meski tersengal. Alat-alat mengerikan dipasang sebagai keberlangsungan takdirnya yang masih terus berjalan.
Mikayla, belum sekarang takdir merelakanmu pergi. Belum. Teruslah bertahan di antara persimpangan hidup dan mati.
Tantang Sang Pencabut Nyawa dengan berani. Dengan bantuan doa-doa tulus orang-orang yang menyayangimu. Orang-orang yang masih ingin melihat senyummu di dunia ini.
Bertahanlah. Bukalah matamu. Nasib semesta milikmu masih abu-abu. Bangunlah, tugasmu belum selesai. Masih banyak luka yang belum kamu cicipi.
Ada pula luka yang perlu kamu temukan cara menyembuhkannya.
●○●○●
Dokter Wijaksana, Lord Rumah Sakit Sayap Merpati, menepuk bahu Dirlan dua kali. Menyalurkan ketabahan pada keponakannya yang telah berjam-jam berdiri di balik kaca ruang perawatan Mikayla.
"Kau tatap sampai matamu copot pun tidak akan bisa mengubah takdirnya."
Sudut bibir Dirlan melengkung ke bawah mendengar celetukan pamannya. "Selamatkan dia, Paman." suaranya parau, bergetar.
Dokter Wijaksana menghela napas berat, merangkul bahu Dirlan, mengajaknya duduk di kursi tunggu depan ruangan.
Koridor rumah sakit cukup ramai. Berpasang kaki berjalan tergesa, kursi roda didorong pelan, brankar pasien melaju cepat meminta jalan, juga troli obat-obatan dan makanan yang menyusul di belakang.
Bentuk keramaian yang Dirlan butuhkan untuk setidaknya memberi warna di hati dan otaknya yang sedang sunyi. Sepi.
"Tidak perlu Paman jelaskan, seharusnya kamu sudah paham. Dia masih bernapas saat ditemukan pun sudah merupakan keajaiban besar. Tinggal menunggu, akankah keajaiban besar itu bisa kembali datang padanya atau tidak."
Isakan Dirlan terdengar pilu usai jawaban pasrah sang Lord Sayap Merpati. Iya, lelaki itu menangis. Begitu takut dirinya akan kemungkinan buruk yang menimpa Mikayla.
Dokter Wijaksana memang benar. Mikayla adalah 1 dari 10 penumpang pesawat yang selamat, meski kini nyawanya di ambang batas hidup dan mati.
Dokter telah mengerahkan segala tenaga dan kemampuan. Merebut napas Mikayla dari malaikat pencabut nyawa. Lagi-lagi, semua kembali pada kuasa Tuhan bernama takdir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Luka
Novela JuvenilKay sudah pernah bodoh dalam mencintai Ken. Mengejar, berkorban, banjir air mata, dikecewakan, dihempaskan harapan, dinomorduakan ... semua sudah Kay rasakan. Kay lelah, lalu Tuhan mengistirahatkannya dengan sebuah kecelakaan yang membuatnya terbari...