Subuh, usai bersujud lama di gelapnya cakrawala berlapis bekunya udara, Kay melepas mukenanya dengan senyuman.
Memperlihatkan sepasang lesung pipitnya yang manis, berharap dengan segala pengharapan kalau harinya akan bisa terlewati dengan manis. Sekali lagi.
Kay bangkit menuju kamar sang mama, membantu mamanya duduk di kursi roda, lalu mendorongnya menuju kamar mandi.
Sembari menunggu mamanya selesai mandi, Kay menghidupkan kompor, memasang sebuah wajan usang di atasnya, memberinya sedikit minyak goreng untuk membuat telur ceplok.
Derit pintu dibuka terdengar, buru-buru Kay menuntun mamanya keluar dari kamar mandi, lalu perlahan mendudukkannya lagi di kursi roda.
Kay mendorong kursi roda mamanya ke ruang tamu sebelum menyelesaikan aktivitasnya di dapur.
"Ma, Mama sarapan lauk telur ceplok sama kecap dulu ya," kata Kay sekembalinya dari dapur.
"Mama makan sendiri," ucap sang mama ketika melihat Kay hendak menyuapinya.
Kay mengangguk, mendekatkan segelas teh hangat yang telah ia buat agar lebih mudah mamanya gapai.
"Makan siangnya nanti Kay taruh di atas meja ya, Ma. Kay nanti sampai rumah sekitar jam empat sore."
Di tengah sarapannya, mama Kay memperhatikan putri semata wayangnya sedang mengancingkan lengan kemeja, bersiap pergi bekerja.
"Kamu tidak sarapan dulu?" tanyanya dengan aksen cedal yang kentara.
"Gampang, nanti Kay sarapan di sana." jawab Kay tersenyum.
Bola mata mama Kay berkaca tanpa sebab. "Maaf," lirihnya.
Kay menoleh, terkejut melihat sebutir air mata membasahi pipi sang mama. Buru-buru gadis itu berjongkok di samping kursi roda, menghapus bekas air mata mamanya.
"Kenapa, Ma? Gak enak ya telurnya? Terlalu asin?"
Mama Kay menggeleng, mengigit bibir menahan isakan. "Hidup kamu menderita karena Mama."
"Ma, kata siapa Kay menderita, hm? Kay bahagia bisa merawat Mama. Mama itu pintu Surganya Kay, mana mungkin Kay menderita kalau pintu Surga terbuka lebar tepat di depan Kay?"
Jawaban penuh ketegaran yang keluar dari bibir tipis Kay, justru semakin menyayat luka lebih dalam. Ibu mana yang rela melihat anak tercintanya bertahan sedemikian kerasnya menerjang kekejaman dunia?
Seperti tercabik-cabik. Hati mama Kay hancur tak berbentuk. Dulu saat suaminya masih ada, kehadirannya membebani sang suami. Kini suaminya pergi, semua beban terpaksa putrinya yang menanggung.
"Hidup Mama hanya menyusahkan! Kenapa saat itu tidak Mama saja yang pergi, Kay? Kenapa malah Papa kamu yang pergi?"
"Maaa," Kay menghentikan mamanya yang memukul-mukul kakinya sendiri. Sebisa mungkin Kay menahan desakan air mata di pelupuknya.
"Kay, maafin Mama, Nak. Maafin Mama." Mama Kay mengusap-usap surai putrinya.
"Gapapa, Ma, gapapa. Seberat apa pun yang harus dilalui, Kay gapapa asal ada Mama." balas Kay sembari memegangi lengan mamanya.
Mama Kay berhenti menangis, melanjutkan menyendok nasi dengan sisa air mata yang dipaksa berhenti. "Kamu jangan lupa sarapan, Kay."
"Pasti, Ma."
"Kalau lelah istirahat, kalau tidak ada uang, Mama tidak apa-apa hanya lauk garam."
Kay terkekeh walau terdengar sumbang. "Gak ada ya, mana mungkin Kay ngasih Mama makan cuma pakai garam? Udah, Mama doain aja supaya Kay lancar kerjanya. Nanti kalau Kay gajian, Kay belikan Mama ayam goreng."
![](https://img.wattpad.com/cover/340948968-288-k520283.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Luka
Roman pour AdolescentsKay sudah pernah bodoh dalam mencintai Ken. Mengejar, berkorban, banjir air mata, dikecewakan, dihempaskan harapan, dinomorduakan ... semua sudah Kay rasakan. Kay lelah, lalu Tuhan mengistirahatkannya dengan sebuah kecelakaan yang membuatnya terbari...