LAMA?!
Iya, tau kok 🤭 aku habis berhibernasi, Guys ... maafkeun ✌🏻✌🏻🐼
Yuk yuk, selamat membaca!
Semoga part ini bermanfaat 🤲🏻
●
●
●Setelah kepergian Vivi, Dirlan berbalik menuju tenda medis. Perjalanannya semalam dalam mencari sinyal di atas bukit tentu tidak mudah.
Bukit yang menjulang dengan permukaan miring nan licin, habis tiga jam diguyur hujan, serta minimnya pencahayaan. Dirlan masih baik-baik saja ketika berhasil menghubungi seseorang yang memanggilnya 'Tuan Muda'.
Namun dalam perjalanannya kembali, lelaki itu kehilangan keseimbangan. Dirlan terpeleset hingga terguling dari ketinggian sekitar tiga meter.
Memang tidak begitu tinggi, namun cukup meninggalkan rasa nyeri mulai pangkal lengan hingga ujung kaki sebelah kirinya. Di bagian sikunya bahkan terdapat luka basah yang menganga cukup lebar.
Dirlan duduk di salah satu kursi di dalam tenda, ia lalu menggulung lengan kaus panjang yang dipakainya. Semalam Dirlan sudah sempat membersihkan luka itu dengan alkohol, jadi kini ia bisa langsung memberikan obat merah di atasnya.
"Loh, kenapa bisa luka gitu, Dok?" Seorang suster bertanya pada Dirlan. "Harus diperban ini," lanjutnya setelah mengamati luka Dirlan.
Suster itu mencarikan perban untuk Dirlan, namun ternyata stoknya habis. "Sebentar, Dok, saya ambilkan di tenda penyimpanan."
"Hm, makasih, Sus." balas Dirlan.
Belum sampai suster tadi kembali, suara milik Kay masuk ke gendang telinga Dirlan dengan cemprengnya. Segera Dirlan menyambar sebuah sneli yang tersampir di dekatnya untuk menutupi luka.
"Dirlan, lo yang nyuruh Vivi ngasih telepon satelit ini ke gue, ya?"
Dirlan hanya mendongak menatap Kay yang berdiri di depannya. Ekspresi wajahnya datar, tak menunjukkan respon apa pun.
"Jawab, Dir. Beneran lo yang nyariin telepon satelit ini?" Lama Dirlan terdiam, hingga akhirnya Kay menyimpulkan sendiri bahwa memang Dirlanlah orangnya.
"Kok lo baik? Jangan-jangan mau jadi caleg?" tuduh Kay, Dirlan mendelik. "Kan sekarang tahunnya politik. Ada orang baik dikit, berarti mau nyaleg."
"Dasar otak penuh curiga."
"Lah, emang gitu, Dir." Kay keukeuh. "Coba deh sekarang bayangin, ada yang ngasih makan ke orang miskin aja direkam. Terjun ke sawah bantuin petani, direkam. Kunjungan ke sekolah, direkam, diunggah. Semua itu buat apa kalo bukan buat pencitraan? Biar dukungannya banyak, kan?"
Dengan kekehan yang menghasilkan senyum miring, tangan kanan Dirlan melempar wajah sok tahu Kay dengan plester. Kay memundurkan wajah, tangannya sigap menangkap plester tersebut.
"Gimana pun, thanks, Dir. Tadi gue udah coba missed call Ririn langsung nyambung."
Melihat Kay tersenyum manis kepadanya, gelenyar aneh seketika merambat di dada, menyelinap masuk memberikan kehangatan di sebuah sudut di dalam hatinya.
Otaknya bekerja, mengirimkan sinyal pada bibir untuk melengkungkan senyum yang coba ditahan. Bagaimana pun gengsi masih menduduki tahta tertinggi.
Tak lama setelah itu, suster yang mengambilkan perban untuk Dirlan datang. Suster itu langsung mengambil sneli yang menutupi lengan Dirlan. Ia hendak membantu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Luka
Fiksi RemajaKay sudah pernah bodoh dalam mencintai Ken. Mengejar, berkorban, banjir air mata, dikecewakan, dihempaskan harapan, dinomorduakan ... semua sudah Kay rasakan. Kay lelah, lalu Tuhan mengistirahatkannya dengan sebuah kecelakaan yang membuatnya terbari...