Maret, 2016
Di depan layar monitor laptop yang menampilkan laman informasi terpilihnya calon mahasiswa baru Institus Pertanian Bogor, Kay duduk dengan cemas.
Detak jarum jam bergerak jauh lebih lambat dibanding ritme jantungnya yang menggila.
Pukul 09:58:50, 10 detik lagi.
Dalam hati, Kay tak sabaran menghitung mundur 10 detik waktu yang tersisa.
Pukul 10 tepat. Pukul 10 tepat nanti, daftar siswa yang berhasil masuk menjadi mahasiswa baru IPB lewat jalur prestasi akan dirilis.
5 detik, 4 detik ...
Mata Kay memejam rapat, mulutnya komat-kamit merapal berbagai doa dengan kedua tangan membekap dada.
3 detik, 2 detik ...
Kay memberanikan diri membuka mata sipitnya, menatap tepat ke tengah monitor.
"Selamat, Mikayla Milcha, kamu MASUK!"
"Aaa, selamat, Kay!"
Pekikan histeris itu adalah suara teman-teman sekamar Kay yang ikut senang atas keberhasilan Kay masuk ke institut impiannya.
Ini indah. Kejutan ini indah, Allah. Terima kasih.
Wajah Kay berseri-seri penuh kelegaan setelah semua perjuangan panjangnya hampir 3 tahun terakhir ini.
"Mama, Papa, Kay berhasil ... " gumamnya, tak sabar ingin segera berlari menuju kantor asrama putri untuk meminta izin menelepon kedua orang tuanya.
Baru juga dipikirkan, suara speaker yang memanggil nama Mikayla Milcha untuk segera ke kantor terdengar. Dengan riang, Kay melangkah ke tempat yang diminta.
Sampai di sana, Bu Inggit --wali kelasnya, berdiri memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa Kay baca.
Kay melangkah mendekat, berdiri tepat di depan wali kelas yang sudah ia anggap seperti ibu keduanya. "Ada apa Bu Inggit panggil Kay?"
Bu Inggit menarik napas dalam-dalam, tersenyum lebar dengan tarikan yang terkesan kaku. "Ikut Ibu, yuk!"
"Ada tugas buat Kay? Tapi, Bu ... Kay ada kabar bahagia buat Papa Mama. Bu Inggit mau dengar dulu?"
Bu Inggit mengusap lengan Kay sayang, "nanti saja, sekarang kamu ikut Ibu dulu."
Rumah sakit.
"Siapa yang sakit, Bu?" tanya Kay setelah sampai di tempat tujuan.
Bu Inggit hanya diam, menggandeng lengan Kay sembari mencari nama dan nomor ruangan yang persis dengan yang tertera di ponselnya.
Kamar Sejahtera nomor bed 2.
Pandangan Kay terpaku pada sosok tak sempurna yang terbujur lemas di atas ranjang pasien.
"Mama!"
Kay berlari, tangannya spontan meraba-raba kepala istimewa sang mama yang kini berbalut perban, melingkar seperti bando, namun tampak mengerikan.
Lehernya diberi penyangga, sebagian wajahnya tertutupi selang oksigen. Samar-samar mata Kay menangkap seulas senyum yang coba mamanya tampilkan.
"Mama ... " Kay kehilangan kata-kata. Ia masih berusaha mencerna apa yang terjadi sebenarnya. "Papa. Papa di mana, Ma?"
Mama Kay hanya mengedip pertanda tak tahu, beliau tak bisa menggerakkan kepala walau sekedar menggeleng.
"Bu, Bu Inggit," Kay kembali berlari, menggenggam erat-erat tangan Bu Inggit, meminta penjelasan. "Ada apa? Papa Kay di mana?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Luka
Roman pour AdolescentsKay sudah pernah bodoh dalam mencintai Ken. Mengejar, berkorban, banjir air mata, dikecewakan, dihempaskan harapan, dinomorduakan ... semua sudah Kay rasakan. Kay lelah, lalu Tuhan mengistirahatkannya dengan sebuah kecelakaan yang membuatnya terbari...