What Kind of Future
Happy Reading
...
Di pagi hari yang lumayan cerah, Ryu terbangun dari tidurnya yang lumayan panjang. Mata anak itu mengedar ke seluruh penjuru ruangan ini.
'Ah, ini rumah sakit ternyata..' batinnya saat sadar dimana ia berada.
Walau Ryu masih sedikit lemas, anak itu mencoba bangun dan duduk sembari menatap jendela. Tangannya membuka masker oksigen yang memang masih menutupi sebagian dari wajahnya.
Ah.. Ryu jadi ingat saat dirinya ada di rumah sakit dulu. Pikirnya.
Setelah menatap keluar lumayan lama, perhatian Ryu teralih ke jam tangan yang saat itu diberikan oleh Uji saat terkhir mereka bertemu. Katanya jam ini adalah alat kendali yang diberikan padanya, dan di jam ini pula ada catatan jumlah waktu yang diberikan padanya.
"45 hari lagi.." gumamnya pelan.
Saat tertidur tadi dirinya memang ditemui oleh Nirmala. Wanita itu menyampaikan jika katanya waktu hidup di dunia baru yang diberikan telah berkurang karena dirinya tak sengaja melanggar peraturan. Tadi mereka sempat berdebat karena hal itu sebelum kemudian Ryu terbangun dan mendapati dirinya berada di kamar rawat sebuah rumah sakit.
"Karena gue pernah mempermainkan hidup, sekarang hidup gue jadi permainan juga ya?" Ryu tertawa miris.
"Karmanya ternyata lumayan nyakitin.."
Tangan Ryu meremas sprai bed miliknya hingga kusut. Anak itu sama sekali tak sadar jika sedari tadi seseorang memperhatikannya dari celah pintu kamar dengan tatapan yang lumayan sendu.
Sosok itu adalah Erza.
Erza memperhatikan Ryu tanpa berniat masuk. Mungkin dia sedikit kasihan dengan keadaan Ryu? Yap. Itu mungkin saja.
Dan pada akhirnya Erza pun membiarkan Ryu tetap sendiri dan berakhir berjalan menuju ke rooftop rumah sakit.
Sebetulnya, tadi ia sengaja kembali ke ruang rawat Ryu lebih dulu karena takut anak itu sudah terbangun. Dan ternyata tebakannya 100 persen benar. Namun, keadaan Ryu saat itu membuat dirinya mengurungkan niat untuk masuk. Ia tak ingin melihat anak itu bersedih, apalagi dengan wajah Uji. Tidak! Ia sedang tak ingin melihatnya saat ini.
"Huft, kayaknya dia lagi sedih banget. Apa mungkin tadinya dia berharap nggak bangun lagi?" gumam Erza menerka-nerka.
Ah, Erza jadi ingat pada Uji. Mungkin tanpa dirinya ketahui Uji juga pernah berpikiran demikian. Apalagi hidup kawannya ini jelas tak berjalan mulus, jadi bukan tak mungkin jika hal-hal seperti itu bisa menghancurkan Uji dan membuatnya membenci hidup sendiri.
Tapi, kenapa Erza tak menjadi seseorang yang bisa Uji andalkan? Kenapa Uji malah menyimpan semuanya sendiri?
Apakah Erza begitu tak layak untuk menjadi sandaran bagi sahabatnya itu? Jika iya, tapi kenapa?
"Kenapa semuanya jadi kayak gini sih? Kenapa hidup bisa rumit banget kayak gini?"
. . .
"Keadaan kamu udah baik Ji, tapi harus tetep rawat dulu ya? Inget, jangan sembarangan, jangan juga jadi pecicilan karena udah ada temen.."
Veno menjawil gemas hidung Ryu hingga empunya cemberut kesal.
Omong-omong dokter muda itu sudah bersikap demikian semenjak melihat versi baru dari tetangganya, ia jadi merasa ingin bersikap jahil ketika melihat tetangganya bangun dengan sikap yang lebih ceria. Padahal biasanya anak itu hanya akan menunjukkan wajah tanpa ekspresi dan terlihat muram, namun Uji yang kali ini berbeda. Dan Veno cukup suka berinteraksi dengan tetangganya versi ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind of Future? [END]
General FictionRyuzi Valerian adalah Remaja pengidap penyakit CIPA yang sudah parah. Ryuu seorang pasien tetap, dan keadaannya terus menurun waktu demi waktu. Disaat keterpurukannya karena penyakit itu, tak ada siapapun disisinya. Orang tuanya tak peduli padanya...