Ch - 34

1.2K 100 8
                                    

Ryuu suka baca komen kalian, jadi kalau semisal suka kalian banyakin komennya ya. Oh, dan jangan lupa juga vote cerita ini dan follow juga akun Ryuu ya.

What Kind of Future

Happy Reading

. . .

"Kalian mau sampe kapan disini? Semua udah pergi, bahkan orang tua Ryuzi dan saudara-saudaranya pun sudah pergi.."

Dikey dan Langit kontan menatap sekeliling pemakaman ini, dan benar sudah tidak ada keluarga lain selain mereka disini.

"Masih nggak paham kenapa tuhan bikin Ryu kayak gini. Bahkan, pas dia meninggal gini aja pemakaman ini sepi. Nggak ada keluarga dia yang tahan dan nangis lebih lama disini.." Dikey berguman lirih melihat suasana pemakaman.

Biasa bagi mereka melihat keluarga mendiang yang menangis lebih lama karena sedih atas kehilangan. Tapi yang mereka temukan disini hanya mereka saja. Tak ada orang tua atau saudara yang kehilangan sosok Ryuzi Andrea Valerian dengan sungguh-sungguh.

Mungkin tangis mereka tadi pun hanyalah formalitas belaka.

Veno diam mendengar ucapan Dikey yang sepenuhnya benar. Saat kemarin pertama kali Ryu ditemukan pun kedua orang tuanya hanya terkejut saja. Tak ada kesedihan selayaknya kesedihan orang tua yang kehilangan anaknya di mata keduanya.

"Walaupun mereka nggak, tapi ada kalian yang menangis lebih lama disini. Dan Mas yakin, Ryuzi akan senang ketika tahu ada orang yang sedih atas kepergiannya." Ucap Veno dengan senyum terpaksa.

Pada akhirnya Erza, Dikey, dan Langit pulang lebih sore. Ketiganya tak pulang ke rumah mereka karena memilih untuk tinggal di rumah kost tempat pertemuan terakhir mereka dengan Ryu tadi pagi.

Hanya duduk diam di ruang TV membuat ketiganya kembali mengingat kebersamaan singkat mereka. Tentang bagaimana saat Ryu pertama kali datang, dan bagaimana mereka menikmati saat-saat kebersamaan sebagai sahabat di rumah ini.

Menurut mereka, kenangan itu sangat indah dan juga sangat menyakitkan diwaktu yang bersamaan.

"Nyesel nggak kenal sama Ryu sejak awal. Gue yakin, dia pasti sedih waktu kita manggil dia pake nama Uji padahal dia bukan Uji." Langit membuka suara. Dari semua rasa sesal yang ia rasakan, rasa sesal ini adalah hal yang paling ia rasakan.

Mungkin sepele saja ketika seseorang memanggilmu dengan nama apapun, tapi Langit jamin bagi Ryu beda lagi. Pasti terasa menyakitkan, dan Langit sedih karena ia juga ikut andil dalam hal itu.

"Kalo gue nyesel karena nggak banyak main dan hibur dia. Pasti sakit rasanya pura-pura baik padahal dia nggak baik-baik aja.." Dikey berucap menambahkan.

Rasanya memang seperti mimpi kehilangan Ryu seperti itu. Bahkan sampai saat ini Erza masih tak percaya jika Ryu meninggal didekapannya tadi pagi.

"Gue tahu gue seharusnya udah lepas Ryu, tapi rasanya sakit banget Dikey.. Langit.."

"Sakitnya sama kayak waktu kehilangan Joshua, dan sesaknya sama waktu gue tahu Uji udah nggak ada.."

Erza yang kala itu duduk diantara Dikey dan Langit merasakan tangan kedua sahabatnya yang mengusap lembut punggungnya sebagai penenang.

"Kita tau lo sedih Za.." Ucap Dikey.

Langit mengangguk. "Kita yang kenal Ryu sebagai Uji aja sedih, apalagi lo yang tau gimana perjalanan Ryu dan cerita Ryu selama ini.."

Dikey dan Langit memang mengerti bagaimana sedihnya Erza saat ini. Benang takdir antara dirinya, Joshua, Uji, dan juga Ryu seolah mengikat Erza hingga anak itu kesulitan bergerak dan bernafas.

What Kind of Future? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang