39. Case 5: BFF, Best Friend Forever? (Part 1)

22 3 3
                                    

Baru seminggu dipakai, tapi efek dari rangkaian skincare mahal yang baru dibelikan Sebastian sudah terlihat nyata di wajah Laura. Wanita itu memang sudah cantik dari sananya. Sekarang malah berkali-kali lebih cantik. Glowing dan bening persis ullzang dari negeri Cina.

Laura berjalan anggun dengan setelan busana kantor, blus berwarna peach dipadukan rok beige sepanjang beberapa sentimeter di bawah lutut. Yang paling mencolok dari penampilannya adalah blazer Channel original menambah kesan elegan.

"Masya Allah! Laura tambah cantik aja," ujar Merry teman satu divisi Laura di departemen produksi sebuah perusahaan jasa teknologi besar di Jakarta.

"Makasih, Mer. Lihatnya biasa aja dong." Laura tersenyum lalu duduk di mejanya, langsung membuka laptop mau mengecek timeline pekerjaannya minggu ini.

Laura tidak bisa menahan senyuman membayangkan Sebastian, sang suami akan mengajaknya liburan ke Phuket weekend ini. Saatnya untuk mengamankan sisa pekerjaan agar nanti dia bisa fokus menghabiskan waktu romantis hanya berdua dengan Sebastian. Sebutlah itu bulan madu kedua.

"Lau ...." Merry duduk di samping Laura, tidak peduli Nina, karyawan pemilik kursi yang ia tempati sudah kembali sambil meninting beberapa cup kopi.

"Hmm ... napa lagi, Mer?" Laura melirik Merry. Mata gadis itu membesar, khasnya kalau sudah penasaran atau kepo akan sesuatu.

"Lau, kasi tau dong tipsnya biar dapat suami kayak Mas Sebastian. Udah ganteng, mapan, baik, romantis lagi." Merry berbunga-bunga dan bertingkah seperti cewek SMA centil kegeeran.

"Heh! Itu pertanyaan bodoh. Kalau mau dapat suami spek Sebastian ya lu juga harus jadi kayak Laura dong." Nina meletakkan satu cup kopi di meja Laura, dekat tangan Merry yang kaget dan langsung cemberut pada Nina.

"Ihh! Nina gak asyik. Paling gak kasi gua harapan kek. Rezeki kan gak ada yang tau. Walaupun gua gak secantik Laura, tapi banyak juga kok cowok yang suka sama gua." Merry membela diri sendiri.

"Udah deh, Bestie. Gak usah envy sama pesonanya Laura. Udah jelas kalah jauh. Yang ada lu kebanting. Tetap berusaha cari jodoh sesuai diri lu aja." Nina tersenyum jahil pada Merry lalu menyedot kopi americano-nya.

"Makasih, Nina. Lu emang sahabat terbaik. The best!" Merry tersenyum sarkas pada Nina.

Ketiga wanita karyawan kantor bergengsi itu melanjutkan obrolan seru di tengah waktu bekerja pagi itu. Obrolan berputar masalah Nina yang akan pulang kampung weekend ini ke Palembang karena adiknya menikah. Merry didekati manager baru divisi marketing dan meminta pendapat kedua temannya. Sementara Laura tetap tenang terjaga dalam suasana hati bahagia karena Sebastian. Hanya satu yang agak mengganjal dalam hidup Laura. Dia sudah setahun menikah dengan Sebastian, tapi belum juga hamil. Sebastian memang tidak menuntut lebih. Namun, seperti biasa, Laura selalu diajukan pertanyaan "kapan hamil?" saat bertemu keluarga.

Itu makanya Laura dan Sebastian sudah lama menabung untuk menjalani program hamil sehabis mereka berlibur di Phuket.

"Laura, handphone lu ketinggalan atau lagi gak aktif?" tanya Januar, karyawan pria yang baru tiba dan duduk di meja, berhadapan kubikel dengan Laura.

Laura menggeleng bingung. "Gak kok. Ada nih hape gua." Laura menunjukkan handphone dari dalam tasnya. Merry dan Nina juga jadi teralihkan. "Memang kenapa, Jan?"

"Itu ada teman lu nyariin di luar. Gak bisa masuk dia. Gak dikasi Mbak Mala kartu tamu," jawab Januar.

"Teman gua? Siapa?"

"Siapa lagi? Ya Juli," jawab Januar.

Raut wajah Laura langsung berubah muram. Mendengar nama Juli rasanya sama seperti sedang berada di antara orang-orang yang tidak disukai. Tidak nyaman.

Chamber Soul/ Pasangan Pembasmi Iblis (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang