43. Case 5: BFF, Best Friend Forever? (Part 3)

12 3 2
                                    

Dengan langkah terburu-buru Laura memasuki parkiran. Kunci mobil ia tekan mengaktifkan mobil berwarna kuning pemberian sang suami. Laura sudah tidak sabar segera pulang ke rumah dan beristirahat. Seharian ini di kantor pekerjaannya lumayan padat. Ada beberapa pekerjaan terpaksa dialihkan kepadanya karena beberapa orang karyawan baru di divisinya belum terlalu lihai.

Laura masuk ke mobil dan bersiap mengemudi. Beberapa alarm pengingat berbunyi. Malam ini Laura harus menemani mama mertua arisan. Sepulang dari acara itu, Sebastian ingin mengajak Laura nonton berdua di rumah mereka. Sebuah kencan di sela-sela waktu padat. 

Senyuman Laura merekah membayangkan hal-hal indah yang akan ia habiskan bersama Sebastian malam ini. Lamunannya buyar ketika ada panggilan telepon.

"Halo. Napa, Jul?" tanya Laura sambil fokus memandang ke depan saat mengemudi.

"Laura, aku boleh minta bantuan kamu lagi? Tolong aku, Lau." Suara Juli terdengar serak. Kentara dirinya sedang tidak baik-baik saja.

"Kamu kenapa lagi, Jul?" tanya Laura dengan wajah bingung. Dia sudah hafal jika Juli bersikap seperti itu biasanya ada sesuatu yang gawat.

"Ehm ... gak, Lau. Bukan masalah, tapi aku cuma butuh bantuan kamu. Besok kira-kira kamu bisa gak malam ke rumah aku buat nemenin tanteku di rumah? Soalnya aku mau pergi sebentar bawa Mama ke Kyai, Lau." Terdengar suara Juli jadi lebih tenang.

Laura tampak ragu. "Gimana ya ...."

"Please, Lau. Aku cuma pergi sebentar aja. Tante gak ada yang jaga karena sepupuku yang biasa jagain ada urusan keluar kota. Aku juga udah jadwal bawa Mama berobat ke Kyai Faruq. Kamu tau kan Kyai Faruq itu terkenal banget udah nyembuhin banyak orang. Siapa tau Mama bisa sembuh sama beliau. Aku udah susah payah dapatin nomor antriannya, Lau," jelas Juli di sana terdengar seperti mau menangis. "Gak mudah jadi aku, Lau. Aku harus jagain Mama dan Tante yang sakit. Kalau gak aku, siapa lagi yang mau? Aku gak sanggup lihat Mama dan Tante terlantar."

Laura terhenyak, larut dalam kebingungan. Wajah tampan Sebastian tersirat dalam benaknya. Percakapannya malam itu dengan Sebastian perkara Juli. 

"Lau?" 

Juli menghela napas. "Oke, Juli. Besok malam aku ke rumah kamu. Tapi aku gak bisa lama-lama. Takut Mas Sebastian marah."

"Makasih, Laura. Kamu memang sahabat sejatiku."

Laura tersenyum ragu lalu berhenti sebentar di tepi jalan dan mengirimkan sebuah pesan pada Merry.

Merry, tolong aku ya. Besok malam aku ada urusan. Kalau Mas Sebastian tanya kamu, bilang aja aku memang benar lagi jalan kamu.

Message send.

Laura kembali mengemudikan mobil menuju arah pulang.

***

Sudut bibir Juli melengkung. Senyuman tipis beraura seperti itu rasanya setara apel beracun yang digigit putri salju.

"Akhirnya ...." Juli meletakkan handphone meja. Langkahnya perlahan tertuju ke dapur.

Secara hati-hati Juli membuka kulkas, mengeluarkan satu nampan berisi kepala kambing di antara beberapa macam jenis bunga petik. Tetesan darah segar menggenang di nampan.

Juli membawa nampan itu menuju sudut rumahnya. Di depan pintu kamar terdengar suara meraung-raung mirip beruang lapar.

"Sabar. Sebentar lagi dia datang. Tuntaskan janjimu," ucap Juli dingin sambil menatap pintu.

Juli berjongkok di depan pintu kemudian membuka sebuah pintu kucing seukuran pintu masuk kucing di bagian bawahnya. Nampan ia masukkan ke dalam melalui lobang.

Chamber Soul/ Pasangan Pembasmi Iblis (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang