33. Satu Hari (Part 2)

13 4 7
                                    

"Kita udah sampai. Ayo turun," ajak Arion ketika mobil ia parkirkan di depan area pemakaman. Arion turun dari mobil lebih dulu. Sesaat dia termenung melihat ke arah pemakaman. Sementara pintu mobil masih terbuka.

Alizeh terhenyak memandang gamang sekitarnya. Itu jelas pemakaman muslim bahkan ada lumayan banyak orang sedang berziarah dengan pakaian serba tertutup. Sepertinya ini bukan area pemakaman biasa. Lumayan luas, tapi tidak semewah Sandiego Hills.

"Ayo, Alizeh. Lu mau nunggu aja di sini? Gua mau jenguk Ibu." Arion memandang Alizeh dan menunggu dengan sabar.

"Gua ikut aja." Alizeh buru-buru turun menyusul Arion. Alizeh teringat sesuatu dan buru-buru mengambil pashmina hitam di dalam tasnya. Ternyata karena ini Arion memintanya membawa pashmina.

Tidak jarang ada peziarah yang datang tanpa memakai pakaian tertutup, tapi mempertimbangkan kenyamanan dengan orang sekitar, memang sebaiknya Alizeh lebih tertutup.

Arion berjalan di depan Alizeh dalam diam. Langkah Arion baru berhenti ketika sampai di dekat sebuah makam. Lama pandangan Arion tertuju pada nisan bertuliskan: Aphinya Pongthananikorn/Zahratu Marwah.

Mulut Alizeh spontan bergumam pelan berusaha menyebutkan nama almarhumah ibu Arion yang agak sulit ia eja. Ada juga tahun lahir dan tahun kelahiran. Ternyata benar. Ibu Arion meninggal saat Arion masih kecil.

"Tunggu ya," ucap Arion menoleh pada Alizeh.

"Iya." Alizeh mengangguk.

Detik-detik berikutnya, Alizeh hanya berdiri di dekat Arion yang berjongkok di dekat makam ibunya dan diam. Suasana hening.

Alizeh sempat mengintip wajah Arion. Dia paham Arion sedang mendoakan ibunya walaupun tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Arion. Alizeh juga tidak melihat Arion membeli atau membawa taburan bunga. Yang dilakukan pria itu selama kurang lebih lima belas menit adalah duduk terdiam di dekat makam ibunya. Berdoa dalam hati.

Ada rasa dingin menyapa hati Alizeh. Melihat Arion dalam kondisi sensitif seperti ini pemikirannya tentang Arion semakin berbeda. Meskipun Arion hanya diam, Alizeh bisa merasakan kesedihan Arion.

Rasa sedih itu menular pada Alizeh. Mulai teringat dengan dirinya sendiri. Ada persamaan antara Arion dengannya. Sama-sama kehilangan ibu. Bahkan Alizeh kehilangan semua keluarganya tanpa sisa. Lebih buruk lagi, sampai saat ini Alizeh tidak diberitahu letak makam keluarganya. Kyai Mustafa hanya bilang suatu hari akan membawa Alizeh ke sana saat situasi sudah aman.

"Berdoa untuk keluarga yang telah tiada tidak hanya saat berziarah ke makam, Alizeh. Doa yang paling utama dari seorang anak itu kapan saja bisa tersampaikan," pesan Kyai Mustafa menggema kembali dalam pikiran Alizeh.

"Alizeh, sini. Ntar lu pegal berdiri di situ terus." Ucapan Arion mengagetkan Alizeh.

"Gak apa-apa. Gua di sini aja."

Arion memandang Alizeh dengan matanya yang agak basah. "Maaf ya udah ajak lu ke sini."

Alizeh tersenyum sungkan. "Gak apa-apa." Hanya kata-kata itu yang bisa ia ucapkan.

"Ya udah yuk. Kita pergi sekarang." Arion bangkit dan mendekati Alizeh.

"Lho? Kenapa cepat banget? Gak apa-apa kalau lu masih mau di sini. Gua oke aja. Lu doain aja lagi," ujar Alizeh merasa tidak enak. Dia tahu Arion sedang merindukan ibunya. Sama seperti Alizeh yang sangat merindukan keluarganya.

"Gak apa-apa. Yang penting gua udah lihat kondisi makam Ibu. Kalau doa setiap hari juga bisa." Arion tersenyum ramah. Bukan senyuman jahil atau sinis seperti biasanya.

Alizeh tercenung. Perkataan Arion mirip dengan ucapan Kyai Mustafa yang baru saja diingat Alizeh.

"Ya udah yuk kita pergi," ajak Arion mulai berjalan, lalu berhenti, untuk menunggu Alizeh mengikutinya.

Chamber Soul/ Pasangan Pembasmi Iblis (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang