Malam itu Vera duduk meringkuk di kursi balkon apartemen mewahnya. Kedua tangannya mendekap erat kaki yang diangkat di depan tubuhnya. Dagunya disandarkan pada salah satu lututnya. Ia sesekali terisak sambil menatap gedung-gedung perkantoran Jakarta yang menjulang tinggi. Lampu di beberapa ruangan nampak sudah dimatikan, namun ada beberapa juga yang masih terlihat menyala. Suara deru kendaraan dan hiruk pikuk kota itu samar-samar terdengar olehnya. Jakarta seperti malam-malam sebelumnya selalu terlihat ramai oleh sekumpulan kendaraan yang bergegas menuju rumahnya masing-masing pada petang itu.
Pikirannya berkecamuk hebat malam itu. Kejadian tadi siang adalah hal yang tidak pernah dilihat sebelumnya. Perangai Alvian yang terlihat sangat emosional yang sempat terlihat ingin menamparnya siang tadi telah membuat dirinya tersentak. Ia bahkan tidak sempat menjelaskan apapun kepada Alvian.
Apa aku salah mencintai orang yang belum sepenuhnya aku kenal? Apa aku salah membiarkan benih cinta tumbuh didalam diri aku? Apa aku salah memilihnya untuk menjadi bagian hidup aku? Vera membatin yang pertanyaan-pertanyaan itu hanya membuat kepalanya semakin penat. Ia menyeka air mata yang tiba-tiba menetes ketika memandang perutnya sendiri. Memang belum ada perubahan bentuk, namun ia meyakini apa yang telah dikatakan dokter kandungan pagi ini bahwa dirinya tengah mengandung dengan usia kehamilan delapan minggu.
Aku akan jaga kamu, dengan atau tanpa Alvian. Aku gak akan pernah menyesalinya. Kamu harus hadir di dunia ini. Vera berusaha tegar sambil menatap kosong kearah kilauan cahaya yang dihasilkan oleh lampu kendaraan. Pintu balkon yang tertutup rapat membuatnya tidak dapat mendengar suara yang dihasilkan ketika pintu apartemennya dibuka oleh Alvian.
Alvian merangsek masuk ke dalam apartemen sambil membawa tas kecil yang berisi cake dan pastry dari salah satu patisserie favorit Vera yang dibelinya di perjalanan menuju apartemen. Sesaat setelah menutup pintu apartemen, ia langsung menuju ke arah kamar tidur kemudian mendapati sosok yang dicarinya sedang duduk di kursi balkon menatap keluar. Ia pun bergegas menghampirinya setelah meletakan tas kecil di meja samping tempat tidurnya. Jantung Alvian berdegup semakin cepat ketika mendekat kearah balkon. Ia sudah mempersiapkan kata-kata maaf diperjalanan tadi namun ia mengkhawatirkan reaksi lain yang tidak ia duga.
Alvian menggeser pintu kaca balkon secara perlahan. Vera menoleh ketika mendengar suara pintu yang digeser. Ia mendapati Alvian sudah berdiri di depan pintu sambil membawa sesuatu di tangannya. "Hai, babe." Ujar Alvian sambil senyum kikuk.
Vera mengacuhkannya kemudian menoleh kembali kearah gedung-gedung perkantoran yang sedari tadi dipandanginya.
Melihat hal itu, jantung Alvian seolah terhenti. Ia sangat mengerti sifat dan karakter Vera. Vera adalah sosok orang yang selalu berbicara vokal serta apa adanya. Apapun yang dia rasakan saat itu selalu diucapkan dan diungkapkan. Namun Vera adalah pribadi yang tidak pernah meluapkan kekesalannya ketika amarahnya memuncak. Bahkan Alvian tidak pernah melihat Vera marah besar. Ketika amarahnya memuncak, Vera memilih diam dan tidak berbicara sepatah kata pun dan raut wajahnya akan tampak datar seolah tidak ada perasaan yang mengganggunya saat itu. Dan Alvian tahu hal itu terjadi saat ini. Ia sadar betul beberapa potong cake dan pastry yang ia bawa tidak akan mampu mengubah keadaan saat ini. Ia mendekati Vera dan menarik salah satu kursi balkon ke hadapan Vera lalu mendudukinya. Ia meraih kedua tangan Vera yang masih mendekap lututnya. Vera membiarkan tangannya digenggam oleh Alvian.
"Babe, aku minta maaf." Ujar Alvian dengan tatapan memelas seperti kucing meminta makanan. "Aku paham permintaan maaf aku gak akan mengobati perasaan kamu yang udah tergores oleh perbuatan aku tadi siang. Aku menyesal udah nyakitin perasaan kamu."
Vera menatap mata Alvian. Ia hanya mengangguk dan menyunggingkan senyum yang sedikit dipaksakan kearah Alvian.
"Saat itu aku terlalu emosional karena—" Alvian menghentikan ucapannya sejenak. "Karena aku gak percaya apa yang udah aku lihat. Dan bodohnya lagi aku membiarkan emosi aku mendominasi pikiran aku saat itu. Saat itu aku cuma takut kehilangan kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Diatas Balkon
RandomKisah kehidupan 2 orang sahabat Iwan dan Donny yang menjalanin kehidupan bersama sejak SMA sampai dengan Kuliah dengan latar waktu 90'an akhir sampai dengan 2000'an awal. Donny, cowo normal rata-rata, sedikit konyol, dan memiliki jiwa sosial yang cu...