Keriuhan rumah Donny malam itu sudah tidak seperti beberapa jam sebelumnya. Di rumahnya hanya menyisakan beberapa orang asisten rumah tangga yang sedang merapikan meja-meja hidangan, membersihkan alat-alat makan dan merapikan kebun belakang rumahnya agar nampak seperti dalam kondisi sebelumnya. Tasya, Cindy dan Rayyan nampaknya sudah lelah bermain dan saat ini sedang terlelap di kamar Tasya. Seorang anak gadis lainnya, Jessica, yang merupakan buah hati Sophia dan Iwan sedang merebahkan tubuhnya di bean bag yang terdapat di kamar Carla sembari bermain dengan ponselnya. Meskipun Jessica adalah anak dari hubungan Sophia dan Roy, namun kasih sayang Iwan kepadanya sudah seperti darah dagingnya sendiri.
Carlo, Donny, Carla, Alvian, Iwan dan Sophia memadati balkon rumah Donny sembari serius mendengarkan Iwan yang bercerita sembari duduk di kursi di depan mereka.
Donny, yang duduk di sebelah kiri depan Iwan, merangkul Carla dari belakang tubuhnya sembari mengelus perut Carla. Alvian yang berada di sisi kanan sedang menyimak sembari sesekali menyesap kopi hangat.
Sophia duduk dengan menyilangkan kakinya persis di sebelah Iwan.
Tak lama kemudian Vera keluar dari kamar Tasya lalu menghampiri Alvian yang sedang serius mendengar Iwan bercerita lalu duduk di pangkuan Alvian.
Alvian dengan sigap menahan tubuh Vera. "Rayyan tidur?" Bisiknya.
Vera mengangguk pelan. Ia kemudian menyandarkan punggungnya di dada Alvian.
Carlo yang duduk persis di depan Iwan, juga serius menyimak setiap perkataan Iwan sembari mengunyah kacang dan makanan ringan lainnya di atas meja.
"Jadi kalian tahu kalau Iwan sama Sophi disembunyiin selama empat tahun sama Pak Johanes dan gak ada yang kasih tahu gue kalau si bangsat ini belum mati?" Tanya Donny sedikit kesal.
"Selain Pak Johanes dan Pak Ricky, yang tahu keberadaan gue cuma Alvian aja, bro." Iwan mengklarifikasi.
Alvian angkat bicara. "Ya. Dan itu harus kita lakuin supaya kalian yang gak tahu bersikap natural aja. Dan kalian akan menganggap kalau Iwan emang beneran udah meninggal. Pak Ricky gak mau membahayakan Sophi yang saat itu lagi hamil dan Iwan yang dia tahu kalau saat itu udah ngelamar Sophi."
"Iya, okelah part itu gue bisa ngerti. Tapi kenapa harus nunggu empat tahun dulu dan si bangsat ini baru muncul di depan gue sekarang?" Sahut Donny sembari melirik kearah Iwan sedang meraih tangan Sophia yang duduk di sebelahnya.
"Itu juga atas permintaan Pak Ricky, bro." Sahut Iwan. "Jaringan Lin Zhifang dan Hua kan termasuk besar. Pak Ricky mau memastikan supaya semua kondusif dulu dan jaringan ini bersih gak bersisa sampai ke akarnya. Baru gue, kalian bisa balik ke kehidupan normal dan gak khawatir dengan bayang-bayang mereka, gitu lho." Tambahnya.
Alvian kembali angkat bicara ketika melihat Donny mengernyitkan keningnya. "Maksudnya supaya gak ada lagi dari jaringan ini yang dendam sama kalian, terus kalian bisa jalanin kehidupan kalian seperti orang normal lain."
Donny menoleh kearah Iwan setelah mendapatkan penjelasan dari Alvian. Mereka bertatapan sejanak lalu saling melemparkan senyum. "But I'm glad you're here, bro." Kata Donny kepada Iwan.
"Yeah, it's good to be back." Sahut Iwan.
Carlo menyela. "Dan ada satu hal baik lain." Ia menahan ucapannya. "Kalian sadar gak sih, sejak tinggal di Kanada, si lutung ini jago bahasa inggrisnya? Dulu kan boro-boro ngerti bahasa inggris dia."
Iwan terkekeh. "Awal-awal juga gue disana pake bahasa monyet, tong. Kalau udah pakai kosakata yang mulai ribet, gue langsung bilang 'sorry mister, I'm deaf'." Iwan terkekeh.
Donny tertawa. Yang lain juga ikutan tertawa mendengar penjelasan Iwan yang mengatakan kalau dirinya tuli.
Donny bertanya setelah tawanya mereda, "Ngomong-ngomong, gimana lo boker disana? Kan susah nyari kloset jongkok. Dan lo juga gak pernah bisa pakai kloset duduk, kan?"
Mendengar pertanyaan itu, Iwan antusias. Ia langsung berdiri, "Naah... itu!" Katanya sambil menunjuk Donny. "Gue sampai request ke Pak Johanes, kalau kloset di rumah gue dibikinin dua jenis kloset. Yang satu kloset duduk buat Sophi dan untuk tamu disana yang mungkin juga mereka gak familiar pakai kloset jongkok. Dan yang satu lagi kloset jongkok, khusus buat gue."
"Jadi kalau lo mau pup, harus balik ke rumah dong?" Tanya Carla.
"Iya. Naah ada cerita kocak nih. Sophi juga gak pernah gue ceritain sih." Iwan menahan kalimatnya sembari menyunggingkan senyumnya dan melirik sejenak ke arah Sophia. "Jadi kan waktu itu gue pernah jalan ke supermarket sama Sophi, nah tiba-tiba gue mules. Gue panik, ye kan. Rumah gue kebetulan jauh dari situ. Gue paksain lah boker di kloset duduk di supermarket."
Donny menyela, "Duduk?"
Iwan menggeleng cepat, "Engga, bro. Tetep jongkok."
Carlo tertawa. "Dasar udik."
"Entar dulu, tong. Belum selesai." Kata Iwan. "Nah akhirnya gue boker kan tuh ya."
"Jongkok?" Tanya Donny.
"Jongkok!" Kata Iwan. "Dan abis itu gue langsung pucet, bro."
"Kenapa?" Tanya Donny heran.
"Gue baru sadar kalau disana itu gak pernah ada shower buat cebok. Adanya cuma tissue doang. Yang ada showernya cuma di rumah gue, ye kan. Custom made. Pake kloset duduk aja gue susah ditambah lagi cebok pake tissue."
Donny menggeleng sembari tertawa.
"Nah ternyata, tissuenya abis pula." Iwan tertawa. "Pengen mati gak tuh rasanya?"
"Lah terus?" Tanya Donny antusias.
"Ish, apaan sih ini? Jadi ngebahas ginian deh." Protes Carla.
Iwan dan Donny terkekeh. "Nanggung, babe." Kata Donny sembari tersenyum. "Terus terus?"
Iwan melirik kearah Carla, "Adanya cuma selembar tiket parkir di kantong baju gue." Kata Iwan sembari menggantung kalimatnya.
"Lo pake itu?" Tanya Donny.
Iwan mengangguk sembari tertawa.
"Ish tuh kan. Udah ah." Carla protes sembari menutup telinganya.
"Huek!" Tiba-tiba Carlo merasa mual. "Si tolol. Huek!" Carlo masih merasa mual namun tidak ada yang keluar dari kerongkongannya.
Hampir semuanya tertawa bahagia malam itu. Celotehan demi celotehan keluar dari mulut Iwan. Menemani suasana malam yang cerah dan berbintang yang nampak jelas terpancar pada malam itu. Mereka bersenda gurau satu sama lain. Saling berbagi cerita dan pengalaman ketika mereka tidak bertemu selama empat tahun kebelakang. Kadang bercerita tentang masa remaja mereka. Dinginnya malam tidak menggoyahkan mereka untuk terus bercerita dan bersenda gurau. Karena hubungan erat mereka yang saling menghangatkan satu sama lain.
Baru saja berakhir
Hujan di sore ini
Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya Pelangi
Tak pernah terlewatkan
Dan tetap mengaguminya
Kesempatan seperti ini
Tak akan bisa di beli
Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya
[Sahabat Kecil – Ipang]
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Diatas Balkon
RandomKisah kehidupan 2 orang sahabat Iwan dan Donny yang menjalanin kehidupan bersama sejak SMA sampai dengan Kuliah dengan latar waktu 90'an akhir sampai dengan 2000'an awal. Donny, cowo normal rata-rata, sedikit konyol, dan memiliki jiwa sosial yang cu...