4. Meriang

2.3K 240 159
                                    

Sejak kecil, Reyhan selalu bertanya-tanya, apakah ayah dan bunda memang terlahir sebatang kara? Tumbuh dewasa sendiri tanpa ada satupun keluarga di sekitar mereka? Cukup aneh, tapi itulah kenyataannya. Sedari Reyhan mulai pandai mengerti keadaan, tak sekalipun Elang maupun Cantika mengenalkan sanak saudara mereka padanya. Mereka seolah benar-benar sendiri di sini. Menghadapi kerasnya hidup di ibu kota tanpa berhubungan dengan siapapun.

Terkadang, Reyhan iri dengan Jepri. Remaja itu selalu mudik ke rumah neneknya di Solo setiap idul fitri tiba. Tetangga Jepri juga rata-rata om dan tante dari mamanya. Semua jelas, selayaknya manusia hidup pada umumnya. Tidak seperti bunda yang marah-marah ketika ditanya soal keluarga. Apalagi ayah. Mentok ujung-ujungnya dipukul. Ah, Reyhan rasa didikan hidupnya cukup keras juga, ya.

Karena kejadian kurang mengenakkan tadi malam, Reyhan jadi malas sarapan. Meski belum tentu bunda masak juga, sih. Jadi begitu selesai dengan seragam sekolahnya, anak itu melenggang saja keluar rumah. Tak pamit apalagi minta uang jajan. Lagi nggak mood sama bunda. Reyhan memang begitu, paling siang nanti udah balik baik-baikin bunda lagi.

Hari ini Reyhan ke sekolah masih pakai beat bunda. Yang menghidupkannya harus di tongkat dua dulu. Sayap bagian depannya juga sudah goyang-goyang seperti mau lepas. Yah, lebih baik lah, daripada jalan kaki. Soalnya si joni, alias vespa jingga kesayangannya sedang masuk bengkel. Kehabisan oli.

Setelah bergelut dengan kelambatan laju beat karbu keluaran 2010 itu, Rey akhirnya sampai di parkiran sekolah. Kali ini ia tidak terlambat. Soalnya nggak sarapan, pun habis subuhan nggak bisa tidur lagi tadi. Jadi cukup on time, lah. Nggak kelimpungan seperti biasa.

Reyhan berjalan santai menyusuri lorong kelas dengan ekspresi kalem. Tak congkak seperti biasanya. Bibirnya yang imut menyerupai paruh burung itu tampak terkatup rapat. Tak berniat melayangkan celetukan garing ke beberapa siswi yang dilintasi. Entah kenapa, hari ini Reyhan tampak seperti anak normal yang baik hati.

Sebagai guru BK yang kerap menghadapi keterlambatan Reyhan, pak Sugi pun keheranan. Menghadang langkah anak itu tepat di depan meja piket. Alisnya terangkat, meneliti wajah Reyhan yang sedikit lebih pucat dari biasanya. Terlebih pada plaster yang menghiasi dahi anak itu.

Pak Sugi heran, Reyhan juga heran. Saking herannya, ia sampai menoleh ke belakang. Siapa tahu yang dipandangi dengan khusyu oleh pria itu bukanlah dirinya.

"Eh, ada apa, Pak? Belum masuk kan, ya?" tanyanya sambil melirik jam di pergelangan tangan kiri. "Ah, belom. Ada sepuluh menit lagi."

"Bajumu dimasukin. Kaya preman pasar kamu kaya gitu."

"Lah, kan anak muridnya papanya Jepri. Harus sangar dan lakikkk!" jawabnya seraya memamerkan otot. Meski begitu, setelahnya buru-buru memasukkan baju sesuai interupsi. Wajah berkumis pak Sugi agak menyeramkan, jujur.

"Jidat kamu kenapa? Habis tawuran?" Pak Sugi bertanya dengan nada rendah, tak setajam tadi. Sedikit khawatir, sih, lebih tepatnya.

"Oh, ini. Kemaren jatoh pas cebok, Pak." Sesungguhnya Rey juga tidak tahu kenapa dari banyaknya alasan, harus itu yang keluar dari mulutnya.

"Gimana ceritanya cebok bikin luka gitu?"

"Iya, pas nyiduk air, gentengnya lepas, nah, kena kepala." Kan, makin ngawur, kan.

"Harusnya ya kepala lah, kenapa jadi jidat."

"Nah!" Reyhan menggantung sebentar sambil berpikir. "N-nah ... pas sebelum jatoh saya kebetulan liat helikopter pak Jokowi di atas. Pengen minta duit." Diakhiri dengan cengiran khas.

Pria gempal itu hanya geleng kepala. Terlampau tak habis pikir dengan remaja ajaib di hadapan. Reyhan itu anak ajaib. Sampai saking ajaibnya, kalau absen bikin pak Sugi kehilangan. Masih kelas satu padahal.

BoKemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang