19. Efek Luka

2.4K 296 173
                                    

Reyhan duduk di sudut kantin yang ramai. Menyendiri di antara riuh rendah percakapan para siswa. Dengan mata yang kosong menatap ke kejauhan, ia putar-putar sendok di dalam semangkuk bakso yang belum tersentuh. Aroma harum dari kaldu yang menguar membuat hidungnya berdesir, tetapi, pikirannya malah jauh terbang entah ke mana.

Sedikit aneh, padahal bakso merupakan salah satu makanan favorit Reyhan. Namun, untuk kali ini, entah kenapa rasanya tidak senikmat yang biasa. Bukan perihal rasa mungkin, lebih ke suasana hatinya yang sedang kurang baik. Wajar, sih, anak mana yang tidak kepikiran mengetahui orang tuanya hendak bercerai?

Meski penjelasan Argadana kemarin berhasil menyanggah niat sang bunda, tapi nyatanya tak cukup membuat hati Reyhan tenang. Kakeknya itu berkata bahwa sebelum pamannya di eksekusi dulu, ada perjanjian terikat di atas materai berisi apa-apa yang harus keluarga Argadana lakukan sebagai kesepakatan kedua belah pihak. Salah satunya adalah menghidupi Cantika dan anaknya dengan layak dan larangan bagi Elang untuk menceraikan Cantika. Karena tak ingin terlibat dosa membelot, Argadana pun menegaskan agar Cantika mengurungkan niatnya. Tak lucu kalau pengorbanan nyawa Dewa dibalas dengan pengkhianatan.

Sejujurnya, Reyhan tak begitu paham. Entah apa yang orang-orang dewasa itu katakan perihal perjanjian dan nyawa-nyawa yang terlibat. Namun, dari kejadian kemarin, ia dapat menyimpulkan satu hal. Bunda menyerah. Wanita itu sudah berada di titik habis kesabarannya. Setelah bertahan sejauh ini, akhirnya, untuk pertama kali bunda meminta ayah untuk menceraikannya.

Lantas, Reyhan harus apa?

Ia bukannya buta untuk melihat betapa menderita hidup bunda selama ini. Tubuhnya yang rapuh semakin ringkih karena sering mendapat perlakuan kasar dari sang ayah. Tak jarang juga Reyhan mendengar bunda menangis di malam hari. Entah sambil sholat, duduk di teras rumah, atau ruang tamu. Jujur saja, saat pertama kali mendengar bunda minta cerai dari ayah, Reyhan bukan kepikiran akan pisahnya. Namun, ia malah khawatir dengan keadaan hati bunda.

Seterluka apa, ya, wanita itu sekarang?

Perlahan, Reyhan coba tarik napas dalam-dalam. Mengambil kembali kesadaran yang sempat melayang entah kemana. Namun, nyeri di area dada membuatnya merutuk. Ia lupa bahwa ada sesuatu yang mengharuskannya untuk mengambil napas dengan santai.

Karena merasa sedikit sesak, Reyhan ambil botol air mineral untuk ditenggak isinya. Kemudian bersandar pada bahu kursi untuk memerhatikan isi dari mangkuk bakso yang sudah acak-acakan. Lagi, remaja itu menghela napas. Pikirannya penuh sekali hari ini, sampai ia rasa tak minat untuk melakukan apa-apa.

Berisik di sekitar membuat Reyhan spontan mengedar pandang. Menyadari bahwa suasana kantin di sini jauh lebih ramai dan berwarna daripada kantin sekolahnya dulu di Jakarta. Perbedaan kasta, mungkin. Namun, Reyhan rasa kehangatan yang tersirat lebih kental di sana. Yang selalu menikmati suasana bersama. Tak seperti di sini yang terlihat berkubu-kubu. Itu juga yang menjadi alasan mengapa Reyhan belum memiliki teman sampai sekarang.

"Nggak ada kursi kosong lagi, aku boleh duduk di sini, tah?"

Baru saja Reyhan bahas tentang teman, tiba-tiba ada yang datang dari arah samping membawa nampan berisi sepiring spaghetti dan jus berwarna kuning. Entahlah, Reyhan juga tak tahu itu jus apa. Yang ia tahu sekarang si empunya sudah duduk dan senyum sok akrab padanya.

"Hai, aku Suheil," ucapnya sambil mengulurkan tangan.

Reyhan yang biasanya tantrum kali ini membalas cukup tenang. Mungkin memang karena sedang banyak pikiran. Jadi tabiat tengilnya masih bersembunyi.

"Gue Reyhan."

"Anak baru, tah? Baru liat soalnya."

"Iya," jawab Reyhan pelan. Sungguh, anak itu sedang tidak mood berkenalan sebenarnya. Tapi tak sopan juga jika tiba-tiba pergi di saat ada yang hendak berkenalan.

BoKemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang