6. Pamitan

2.4K 257 268
                                    

Cantika memeras handuk kecil yang baru saja ia celupkan di air dingin dalam wadah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cantika memeras handuk kecil yang baru saja ia celupkan di air dingin dalam wadah. Kemudian meletakkannya di dahi sang putera. Selepas ibadah isya tadi, Reyhan mendadak demam tinggi. Bukan mendadak, sih, toh sejak siang anak itu memang sudah sakit. Hanya saja, Cantika memang baru sadar setelah mendengar Reyhan batuk-batuk.

Sensasi dingin menjalari permukaan kulit dahi. Reyhan mencoba membuka matanya yang panas. Menatap sendu ke arah bunda yang sedang duduk di pinggiran kasur. Wajah wanita itu memang tak pernah santai. Selalu masam. Entah karena mereka sempat terlibat cekcok pasal motor bunda yang belum sempat Reyhan ambil di bengkel tadi, entah karena memang sulit senyum. Reyhan pun tak tahu.

"Nda ...."

Seperti biasa, Cantika hanya merespon dengan alis terangkat. Tak berniat membuka suara. Tangannya sibuk mengaduk bubur ayam yang masih mengepul. Menciptakan aroma bawang goreng khas.

"Bunda beneran pengen pindah dari sini?" Suara Reyhan terdengar serak, seperti orang baru bangun tidur.

Berusaha menghalau kesal, Cantika pun menghela napas. Kemudian mengangguk singkat. Tak baik marah-marah pada anak yang sedang sakit. Takutnya kalau makin banyak pikiran, anak itu malah makin drop. Soalnya Reyhan memang tipe anak yang nggak bisa terlalu memikirkan sesuatu. Galak-galak begitu, Cantika tetap tahu seluk beluk Reyhan kok.

"Kenapa? Padahal di sini enak. Belum tentu juga kita betah di sana."

"Enak gimana maksud kamu? Orang hari-hari buat makan aja susah. Aneh."

"Emang di Surabaya nanti, kita pasti bisa makan?" Meski sakit, bukan berarti mulut Reyhan ikut sakit, ya, Gais. Masih lancar ngejawab. Seperti biasa.

"Bisa. Soalnya harta eyangmu lebih-lebih."

Cantika pasrah. Tak ada gunanya juga menyembunyikan fakta ini dari Reyhan terlalu lama. Toh Reyhan sudah kepalang penasaran. Meski ia tahu, kenyataan ini pasti akan membuat anak itu sakit. Malam itu juga, Cantika pun angkat bicara. Membuka luka lama yang telah mengambil satu-satunya orang berharga yang ia punya.

***

Jepri rasa, Tuhan menciptakan Reyhan dalam suasana hati yang sangat baik. Terbukti dari pahatan-pahatan yang membingkai di tiap sudut wajah anak itu, terlihat rapi dan begitu proporsional. Alis tebal, mata tajam, hidung mancung, bibir kecil yang selalu berwarna. Sungguh tidak adil, padahal Reyhan itu perokok.

Seperti sekarang. Bocah kerempeng yang tiba-tiba nyelonong ke kamarnya itu hanya menggunakan kaos oblong hitam dan celana pendek. Rambut acak-acakan. Jangan lupakan wajah kusutnya yang agak sembab. Sialnya, Reyhan masih terlihat tampan. Tak seperti dirinya yang kalau mau ganteng harus effort dulu.

"Coba dah lo cerita pelan-pelan dulu. Nggak usah mewek. Gue bingung, nih. Nggak tau duduk perkaranya gimana." Badan Jepri sedikit condong ke arah nakas, menyambar satu pack tisu untuk dilempar ke pangkuan Reyhan.

BoKemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang