Ada bunyi cukup nyaring ketika Cantika menutup pintu dengan cepat. Wanita yang memiliki bibir penuh itu terlihat mengusap wajahnya yang basah. Berjalan gontai untuk kemudian mengempaskan bokong di pinggiran kasur. Kresek berisi satu pack anggur yang tadi ia beli dengan sang ipar sudah jatuh tergeletak di lantai. Cantika menangkup wajah dengan kedua tangan, semakin terisak.
Kamar dengan nuansa gelap di sana menjadi saksi, betapa hebat getar yang tercipta di punggung wanita kurus itu. Cantika tidak tahu sejak kapan ini terjadi, tapi tak menampik, hatinya selalu sakit setiap melihat Reyhan dihakimi dengan brutal oleh sang suami. Tidak, bukan karena ia sudah menyayangi Reyhan layaknya naluri ibu pada anak. Wanita itu hanya iba, tak lebih.
Cantika memang membenci kehadiran Reyhan. Saking bencinya, ia bahkan pernah melakukan banyak hal untuk menjatuhkan anak itu dari perutnya dulu. Mulai dari meminum alkohol, merokok, sampai mengunjungi praktisi yang tentu tidak terlatih secara medis. Namun, meski ia merasa nyawanya ikut terancam, nyatanya anak itu tetap bertahan. Entah karena campur tangan Tuhan dan semesta, atau memang kekuatan yang Reyhan miliki lebih besar daripada upayanya.
Tak sampai di sana. Bahkan ketika raga mungil itu sudah benar-benar menyapa dunia, penolakan tetap berlanjut. Jika saat di perut Cantika lah yang mati-matian ingin menghilangkan nyawa Reyhan, maka ketika lahir, semua amarah gila itu beralih pada Elang. Cantika bahkan masih ingat, Elang pernah membekap wajah polos Reyhan ketika bayi merah itu sedang berceloteh riang menunggu susu di atas kasur. Saat itu, Cantika sempat kewalahan mendapati Reyhan kejang-kejang.
Sebab entah kenapa, ada rasa iba hadir ketika melihat Reyhan lahir dengan sempurna tanpa cacat sedikitpun. Apalagi melihat senyum yang terulas di bibir mungil itu. Mengingatkannya dengan senyuman indah sang kakak, Dewa.
Sejak saat itu, Cantika bertekad untuk tetap membesarkan Reyhan. Kendati benci dan amarah di hatinya tidak benar-benar hilang. Meski tak sepenuhnya menyayangi, setidaknya Cantika tetap berperilaku layaknya seorang ibu. Tidak sepenuhnya, karena terkadang, saat masalalu kembali menyapa ingatan, Cantika akan berubah menjadi pribadi yang menjengkelkan. Menyudutkan Reyhan di posisi paling menyedihkan.
Cantika tidak tahu seberapa sulitnya hidup bagi Reyhan. Hidupnya penuh dengan luka dan tidak ada kebahagiaan yang benar-benar menyapa. Menurutnya, hidup Reyhan hanya tentang kesedihan dan penderitaan, karena bagi semua orang, kehadiran Reyhan adalah kesalahan yang tidak bisa dimaafkan.
"Maafin bunda, Rey. Nggak seharusnya bunda menyerah bikin kamu gugur dulu."
***
Hari ini adalah hari pertama Reyhan bersekolah di Surabaya. Saking semangatnya, selepas ibadah subuh, ia tak lanjut tidur. Sibuk menyiapkan beberapa keperluan yang sudah dibeli bersama Anin kemarin. Bahkan, ketika jam baru menunjukkan pukul enam lewat sepuluh menit, Reyhan sudah siap dengan seragamnya di depan cermin.
"Buset, ganteng banget gue. Kan nggak lucu ntar kalau satu gedung pingsan gegara liat ketampanan yang hakiki ini."
Setelah menyematkan jas hijau tua sebagai penutup kelengkapan, Reyhan langsung menyisir rambut menggunakan jemari. Mengulas senyum untuk kemudian bergerak-gerak guna meneliti keseluruhan penampilan yang terpantul di cermin. Lagi-lagi, remaja berahang tegas itu tersenyum sumringah.
"Aelah, emang boleh seganteng ini?"
Jangan heran kenapa Reyhan bisa senarsis itu. Toh, atribut yang ia pakai sekarang memang sangat jauh berbeda dengan sekolah lamanya. Jika di Jakarta dia hanya menggunakan seragam putih biru muda, sekarang berubah menjadi celana hitam kotak-kotak, kemeja putih dengan warna kerah senada, jangan lupakan jas yang mampu menciptakan kesan mewah. Benar-benar kontras dengan postur tubuh Rey yang semampai.
KAMU SEDANG MEMBACA
BoKem
Novela Juvenil#Sicklit #Teenfiction #Jay (Disarankan membaca Niskala terlebih dahulu) "Mereka menyebutku bocah kematian. Padahal aku hanya melakukan hal gila untuk menyamarkan lukaku." -Reyhan Pradipta Wicaksono- Most Impressive Ranking: 🏅2 in •Angst• [4/7/2024]...