17. Alat Bantu Napas

3K 289 158
                                    

"Kamu apa-apaan, sih, Yang? Bicara pelan-pelan, aku nggak ngerti kamu ngomong apa."

"Itu, Reyhan, sakit kayanya di kamar. Kaya susah napas gitu aku denger. Cepet tengokin, Mas."

"Aku baru kelar mandi mau bantu-bantu manggang di bawah. Nggak ada waktu buat urus yang kaya gitu."

"Ya 'kan bisa mampir bentar. Aku takut dia kenapa-kenapa. Pasti karna habis dipukul mas Elang kemarin."

"Sayang, please. Stop urusin urusan orang lain. Kamu nggak perlu repot-repot mikirin problem mereka. Udah, fokus tenangin diri di sana. Si kembar aman, kan?"

"Mas, aku nggak suka, ya, kamu alihin pembicaraan gini. Lagian mas Elang tuh mas kamu, mas aku juga. Apalagi anaknya. Wajar 'kan kalau aku peduli? Orang lain, orang lain."

Nyatanya, Daffa tak pernah menang melawan kelugasan Anin dalam berbicara. Pria itu lupa bahwa sang istri adalah seorang psikolog yang memiliki beragam kosa kata untuk menyanggah ucapannya. Dasar, si cerewet, pikirnya.

"Ya udah, terus maunya kamu gimana? Aku naik ke lantai tiga buat liatin anak itu?"

"Iya, kalau ada apa-apa langsung bawa ke RS aja, sekalian cek kesehatan. Nanti kabarin aku."

"Ck, kamu bahkan nggak ada nanyain kabar Dika. Anak kamu sekarang Dika apa Reyhan, sih?"

"Nggak usah kekanakan, Mas. Aku sama Dika udah kontakan sejak dia bangun tidur. Ngawur. Udah, ah, aku tutup telponnya. Buruan sana. Awas aja kalau aku hubungi nanti nggak denger suara Reyhan. Aku blokir kamu."

"Kek gitu, ngance—"

Tut!

Di tempatnya, Daffa menghela napas. Entah karena perbedaan umur atau memang dia yang terlalu cinta, dalam hubungan, Anin selalu mendominasi. Bukannya takut, Daffa hanya tak pernah mampu egois untuk wanita yang satu itu. Amarahnya selalu kalah dengan rasa sayang yang membara. Jadi, meski tak ingin, ia paksa kaki jenjangnya untuk melangkah meniti anak tangga. Menjenguk sang keponakan sesuai permintaan istri tercinta.

Benar-benar merepotkan, pikirnya.

Lagipula, entah apa yang membuat Anin bisa berhubungan dengan Reyhan, dan berlakon seolah-olah tahu segalanya tentang remaja itu. Ya Tuhan, Daffa tak habis pikir. Sudah sejauh apa, ya, kedekatan dua insan itu?

Begitu pintu cokelat berada tepat di hadapan, ragu tiba-tiba bertamu. Daffa sempat terdiam beberapa saat. Jangankan berinteraksi, sekadar menatap wajah bocah itu saja, ia rasa enggan. Namun, dering di saku lagi-lagi menyadarkannya. Bahwa tugas berat ini harus ia emban dengan segera.

Dengan berat hati, terpaksa Daffa memegang gagang pintu. Menahannya ke bawah untuk kemudian membuka akses. Begitu terbuka, pemandangan Reyhan yang sedang meringkuk di pinggir kasur membuatnya sedikit terkejut.

"Kenapa kamu?" Percayalah, pertanyaan itu spontan keluar dari bibir Daffa karena panik. Ia tak berbohong akan itu.

"O-om Daffa?"

Dapat Daffa lihat remaja itu sama terkejut dengannya. Raut kaget dan takut menjadi satu di wajah piasnya. Dengan cepat Daffa mendekat, meneliti lebih detil keadaan anak itu. Begitu sampai, wajah pucat penuh keringat lah yang ia dapat.

"Kamu kenapa?" Lagi-lagi Daffa bertanya. Kali ini nadanya lebih rendah. Pria itu bahkan sudah berjongkok. Menatap lamat-lamat Reyhan yang masih sibuk memegang dada dan mengatur napas.

"Nggak apa-apa Om, engap dikit. Efek AC kali," jawab anak itu diakhiri dengan cengiran.

Namun, jangan lupakan bahwa Daffa adalah seorang yang peka terhadap keadaan. Dengan sigap ia langsung tepis tangan Reyhan yang bertengger di dada. Menyingkap kaos yang anak itu kenakan, sampai lebam kebiruan di permukaan rusuk kiri menyapa pandang.

BoKemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang