12. Reyhan dan Luka yang Tertinggal

2.2K 280 211
                                    

Reyhan baru sampai di kediaman Argadana ketika matahari sedang terik-teriknya. Karena gerah, hal pertama yang bocah itu lakukan adalah mengganti jeans dengan kolor pendek yang ia bawa jauh-jauh dari Jakarta. Salahkan Anin yang memaksa mengajaknya belanja ke mall. Padahal niat awal hanya daftar sekolah saja.

Omong-omong soal sekolah, Reyhan juga tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi di rumah ini. Tadi saat sarapan pagi, Argadana tiba-tiba membahas pasal sekolah di meja makan. Menyuruhnya pergi ke alamat yang sama sekali tak Reyhan ketahui. Beruntung di rumah itu ada malaikat baik yang dengan sukarela menawarkan diri untuk membantu. Mama Anin.

Jadilah mereka pergi berdua menggunakan Pajero hitam yang di kemudikan oleh supir keluarga, Mas Didi.

Hah, kadang Reyhan juga bingung, kapan peran ayah dan bunda sebagai orangtuanya dipergunakan. Toh setiap Reyhan butuh, mereka selalu tidak ada. Seperti tadi pagi. Keduanya hanya acuh ketika Reyhan tampak kebingungan dengan maksud sang kakek.

"Gerah banget, bjir. Perasaan kemaren nggak sepanas ini."

Dengan posisi duduk di pinggiran kasur, Reyhan tergerak mengangkat kaki untuk bersila. Kemudian mengibas-ibaskan kaos oblong guna menciptakan udara. Remaja itu mendongak, membiarkan keringat meluruh membasahi leher jenjangnya. Membuat jawline yang ia miliki semakin menegas.

Tak lama, pintu berderit. Menampilkan sosok Dika dengan balutan seragam putih birunya, melayangkan cengiran khas. Reyhan tak membalas apa-apa. Demi dewa Neptunus, saat ini Reyhan benar-benar tengah dilanda gerah hebat.

"Cil, idupin AC, gih. Panas bet, sumpah ...."

"Can you stop call me cil?"

"Ntar gue panggil njing lo nya ngegonggong."

Dika tak menjawab. Setelah mencampakkan tas ke atas kasur, buru-buru menghidupkan pendingin ruangan sesuai perintah. Wajah anak itu terlihat sedikit kusut, tak sumringah seperti biasa.

"Ngapa lo? Manyun mulu kek nahan berak," tanya Reyhan. Kini remaja itu sudah rebahan, menikmati afeksi segar yang mulai menciptakan nyaman. Sepertinya Reyhan mulai terbiasa dengan fasilitas mewah di rumah ini. Ck.

"Nggak papa, males aja sama eyang."

"Ngapa eyang lo?"

"Eyang kamu juga, Ngab," protes Dika dengan nada menyeret. Menjatuhkan tubuh tepat di samping Reyhan. Lalu menyorot pandang ke langit kamar.

"Ribet lo, tinggal ngomong doang padahal." Reyhan tak mau kalah. Meraup wajah yang lebih muda dengan gemas. Secara, love language Reyhan tuh physical touch. Nggak dipegang, nggak afdol. 

"Tadi eyang puteri nyuruh aku bilang ke kamu buat pindah kamar. Nggak boleh bareng terus, nanti ketularan nakal. Lebay banget nggak, sih, Mas?"

Hati Reyhan seperti tercubit setelah mendengar penuturan polos sang sepupu. Secara tidak langsung, neneknya itu menyadarkan bahwa posisi ia dengan Dika tidaklah sama. Padahal, ia tak seburuk itu, kok. Mereka saja yang terlalu berlebihan dalam menaruh persepsi.

"Gue disuruh pindah ke kamar mana?"

"Nggak usah deh, ya, Ngab? Di sini aja, biar bisa main game bareng kapan aja."

Dika sudah ganti posisi menyamping. Sepenuhnya menghadap Reyhan. Memasang wajah melas supaya remaja di hadapan luluh. Namun, Reyhan terlanjur tersinggung. Bukan sensitif, tapi ... ya kalian tahu lah. Memangnya, siapa yang baik-baik saja setelah diperlakukan tidak baik?

"Nggak mau, ah. Badan lo bau ketek," jawab Reyhan seraya bangkit. Namun, karena terlalu tiba-tiba, kepalanya mendadak berputar. Membuat keseimbangannya goyah. Reyhan terpaksa kembali duduk di pinggiran kasur sambil terpejam dengan kening mengkerut.

BoKemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang