28. Bunda

2.7K 304 267
                                    

Reyhan tiba di kamar Cantika dengan semangkuk bubur yang masih mengepul di tangan. Beberapa menit yang lalu, tepat setelah melakukan ibadah isya, Anin memberitahu bahwa sang ibunda jatuh sakit. Jadi, tanpa mengatakan banyak hal, ia langsung bergegas menghampiri bahkan masih dengan baju koko putih yang tertanggal di tubuhnya.

"Bundaku ... makan dulu, yuk. Ini Rey buatin bubur nyontek tutor YouTube," ucap anak itu lembut setelah meletakkan bawaannya ke nakas.

Cantika tak bergeming. Setia terpejam kendati telinganya dapat menangkap suara sang anak. Bermaksud menghindar. Namun, bukan Reyhan namanya jika menyerah begitu saja. Masih dengan gurat khawatir ia berjongkok. Berniat membangunkan sang ibu yang tertidur menyamping dengan elusan lembut di bagian pipi.

"Bunda ... kata mama Anin kalau mau minum obat perutnya harus di isi dulu. Bangun, ya, Rey suapin."

Untuk beberapa saat, hati Reyhan menghangat. Sedikit senang karena bisa berada di posisi sedekat ini dengan Cantika. Ia bahkan bisa melihat dengan jelas bibir penuh wanita itu. Kelopaknya yang indah meski sedang tertutup. Pelan-pelan Reyhan coba sentuh lagi pipi itu untuk merasakan hangatnya. Demi Tuhan, Reyhan ... sangat menyayangi Cantika.

"Kamu harus belajar hidup tanpa saya, Reyhan."

Tiba-tiba suara itu muncul, menghadirkan getaran kecil di hatinya. Tangan yang semula terangkat lantas ia tarik mundur. Tak bisa, bahkan untuk membayangkan Cantika pergi saja, Reyhan tak sanggup. Jika bisa memilih, sehidup semati bunda yang hidup, Reyhan yang mati pun tak mengapa. Ia ikhlas, sebab itu lebih baik daripada sama-sama hidup dengan melihat bunda menderita.

"Keluar."

Reyhan terperanjat dari lamunan. Kembali mengulas senyum kala melihat mata Cantika yang terbuka. "Nda, barusan Reyhan masak bubur. Bunda makan, ya?"

Dengan penuh semangat anak itu gapai mangkuk tadi untuk dipamerkan pada sang ibunda. Tampaklah makanan lembek putih dengan suwiran ayam di atasnya. Lengkap bawang goreng beserta daun bawang kesukaan bunda. Dari penampilannya saja, sudah bisa dipastikan makanan sederhana itu Reyhan buat dengan penuh usaha.

"Saya nggak laper, bawa makanan itu keluar."

Seperti dicubit, rongga kecil di dalam hatinya langsung nyeri tak karuan. Terlebih saat melihat wanita itu bergerak memunggunginya. Entah sudah berapa kali Reyhan jatuh karena penolakan yang sama. Harusnya ia terbiasa. Namun, nyatanya rasa sakit yang menerjang semakin menggila. Sepertinya, Bunda memang tidak akan pernah sudi menerimanya.

Masih berusaha tetap tersenyum, Reyhan pun kembali menyimpan makanan sehat itu ke atas meja nakas. "Nggak akan Rey bawa karna Rey udah makan tadi. Rey taroh di sini aja, ya, Nda. Nanti kalau bunda laper tinggal makan. Obatnya juga di sini."

Tak ada jawaban, sebab Cantika masih betah dalam bungkamnya. Melihat itu, Reyhan hanya mampu tersenyum miris.

"Rey keluar dulu. Bunda cepat sehat, ya. Syafakillah, Nda ...."

Meski berat, Reyhan paksa membawa sang raga pergi dari sana. Sebab sekuat apapun inginnya untuk merawat wanita itu, Cantika tetap menolak. Tidak pernah ada Reyhan di hati bunda. Dan Reyhan tidak boleh egois untuk menyangkalnya. Setidaknya, ia sudah berusaha.

Karena berjalan sambil melamun, Reyhan sampai tidak sadar jika di balik pintu yang ia buka terdapat presensi seseorang. Menyadari bahwa orang itu adalah sang ayah, Reyhan spontan melipir hendak menghindar. Sepertinya pria itu baru pulang dari bekerja.

"Mau apa kamu di kamar saya?"

Ucapan berat itu lantas menghentikan langkah Reyhan. Ia berbalik, mendapati Elang yang juga menjatuhkan tatap padanya.

BoKemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang