5. Dipaksa Nurut

2.2K 235 173
                                    

Yok, Kak. Sebelum baca kita JJ dulu bareng ngab Rey. 🤟🏻


Reyhan masih sibuk menyumpal hidung menggunakan tisu ketika perempuan berjas putih meletakkan segelas teh hangat di atas nakas. Jika dilihat-lihat, kakak kuliahan yang katanya sedang magang itu lumayan manis juga. Rambut cokelat panjangnya yang bergelombang di bagian bawah terasa memanjakan mata. Tinggi. Ramping. Ah, tipe Rey sekali.

"Diminum, Dek. Kalau udah mampet rebahan aja. Kecapean kamu itu."

Tak lantas menjawab, Reyhan sempat salfok beberapa detik oleh pergerakan bibir mahasiswi cantik yang kini sudah duduk di kursinya itu. "Kak, papa kakak pedagang gula, ya?"

"Nggak usah bawa-bawa papa. Papaku udah meninggal."

Reyhan kicep. Tak berani lagi melontarkan candaan. Lagipula kepalanya terasa semakin berat. Ditambah sensasi berputar-putar ulah si darah rendah. Jadi, setelah memastikan bercak merah di gumpalan tisu sudah benar-benar tidak ada, ia pun segera merebahkan diri.

Namun, saat baru terpejam, Reyhan terpaksa kembali membuka mata lantaran kaget dengan suara tawa wanita di sebelah. Buset, cakep-cakep kalau ketawa nyeremin juga, ya.

"Santai aja kali, nggak usah langsung kaku gitu. Becanda. Papaku masih ada, cuma udah cerai sama mama. Gatau dimana sekarang."

Reyhan nggak ada nanya, sumpah. Jadi dengan ekspresi tololnya, dia merespon dengan senyum singkat. Lalu kembali terpejam. Nggak enak dibuat melek lama-lama. Puyeng.

"Bapak lo pasti bangga punya anak cakep kaya lo, Kak."

Tak tahu harus mengusir canggung dengan cara apa, ya sudah, Reyhan menggombal saja. Toh tak sepenuhnya bohong. Dia memang lumayan terpesona dengan mahasiswi magang itu. Untuk jadi kandidat pacar, bisa lah. Walau agak ketuaan dikit. Gapapa. Rey suka yang matang-matang kok.

Siapa sangka wanita sedewasa Dila malu-malu setelah digoda oleh bocah serandom Rey? Pipi wanita bergingsul itu tampak bersemu. Masih mengulas senyum tersipu. Sial, salahkan Rey yang hidup bukan cuma modal bacot doang. Tapi juga ganteng! Inget sama kata pepatah 'lo ganteng lo aman', 'kan?

Tak lama dari itu, Jepri pun datang. Membawa satu kresek roti kemasan berbagai rasa. Eh, salah, cuma empat rasa, sih. Soalnya si kresek cuma muat empat roti. Sama sebotol teh pucuk dingin. Karena Rey itu tipe orang yang harus minum dalam keadaan dingin. Pokonya apapun minumnya, harus dingin. Mana doyan dia teh anget UKS.

"Kak, temen gue mimisan nggak kena kanker, kan?"

Reyhan nyaris tersedak. Untung pil pereda demam itu sudah berhasil melewati kerongkongan. Ia tak mengerti, kenapa Jepri bisa kepikiran sejahat itu. Sebagai ungkapan kesal, Rey pun memukul lengan kanan Jepri.

"Lo doain gue kanker, njing?"

"Ya enggak, ngeri aja. Makanya ditanya."

"Sama aja. Omongan kan doa, bego."

"Terus kalo sakit gimana caranya konsul ke dokter kalo nanya doang gaboleh? Gilak ya lo."

"Bukan gaboleh, Monyet. Ya gausah nyebut kanker juga. Lo mau gue beneran sakit kanker? Amit-amit."

"Tolol, ya enggak, lah!"

Menyaksikan perdebatan konyol itu, Dila hanya mampu terkekeh kecil. Terlebih saat melihat wajah pias Reyhan diliputi rasa kesal. Terlihat imut dan tengil menjadi satu. Andai yang sakit modelannya kaya Reyhan semua, mungkin Dila bisa tahan satu tahun magang terus.

BoKemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang