21. Luka itu Tak Melulu Berdarah

2.2K 293 228
                                    

"Bisa diabetes gue lo kasih cokelat mulu, Cil."

Kendati begitu, Reyhan tetap meyambut makanan padat dari tangan Dika. Membukanya untuk kemudian dilahap dengan santai. Sambil menikmati sensasi manis yang berpendar di mulut, ia lirik atensi sang sepupu di kursi seberang. Seulas senyum lantas terbit ketika Reyhan menyadari satu hal. Dika itu unik.

"Kata mama, cokelat itu baik buat ngembaliin mood, Ngab. Makanya setiap kita marahan, kesal atau lagi sedih, kita selalu sharing Silverqueen."

Reyhan lantas buang muka. Menjatuhkan pandangannya ke beberapa burung yang menggagahi langit senja. Semilir angin sempat membuatnya terbuai. Dika benar, cokelat cukup ampuh mengenyahkan sedikit beban di kepala. Rasanya sedikit lebih baik.

"Ngab, jangan sedih terus, dong. Lagian kan masalahnya udah selesai. Aku pengen ngajak kamu jalan-jalan soalnya. Selama pindah kita belum pernah keluar bareng, kan?" cerocos Dika. Remaja yang mengenakan kaos oblong putih dengan celana kolor hitam itu terlihat sedikit bersemangat.

"Lah sekolah itu? Lo kira selama ini kita sekolah dimana? Kamar mandi mba Susi?"

"Nggak gitu, Ngab. Keluar main maksudnya."

Tawa kecil tiba-tiba lepas dari bibir ranum Reyhan. Ia menoleh, menatap Dika dengan ekspresi meremehkan. "Emang lo mau bawa gue kemana?"

"Kemana aja asal ngab Rey nggak sedih lagi."

Pernyataan barusan spontan membuat Reyhan terenyuh. Tak menaruh ekspektasi kalau Dika akan mengucapkan kata-kata sebijak itu. Pantas saja, semenjak cekcok yang terjadi di ruang keluarga beberapa waktu lalu, remaja tanggung itu tak pernah absen menyambangi kamarnya bersama sebuah cokelat di tangan. Wajar saja, toh Dika dilahirkan oleh ibu sebaik Anin dan ayah sebaik Daffa.

"Gue nggak sedih, Dik. Gue cuma kepikiran bunda."

"Emang bun—" Suara Dika tiba-tiba terputus kala sepasang mata hazelnya menangkap sesuatu di sudut lantai balkon. "Ngab, kamu ngerokok, ya?"

Sedikit terkejut, Reyhan pun jadi ikut menjatuhkan tatap ke arah pandang Dika. Mendapati beberapa puntung rokok yang tak sempat ia buang tadi.

"Iya," jawabnya kemudian dengan singkat. Sejujurnya, Reyhan merasa agak kikuk.

"Bukannya dada kamu masih sakit? Nggak tambah nyesek, tah, Ngab?"

"Enggak. Udah sehat gue."

Bohong. Nyatanya nyeri yang bersarang di dadanya masih mengganggu hingga sekarang. Hanya saja, ternetralisir oleh air putih yang sengaja Reyhan stok di kamar. Ia tak bodoh untuk menyadari efek rokok bagi kesehatannya. Namun, Rey terlanjur kalut. Bingung hendak meluaskan gundah entah kemana. Sebab tak menampik, merokok itu mengandung tenang. Makanya ia dan Jepri suka nyebat sembunyi-sembunyi dulu. Itupun belinya ketengan. Sebab kalau beli satu bungkus, nanti bisa ketahuan ibunya Jepri, yang galaknya nyaingin kak Ros.

"Udah lama ngerokok, Mas? Gimana rasanya?"

"Pahit, nggak enak, pas asepnya masuk mulut rasanya kaya disengat bara. Pokoknya lo nggak boleh coba-coba. Kalau nekat gue pukul," ujar Reyhan panjang lebar. Sesekali mengusap lembut dadanya yang agak berdenyut.

"Kenapa, sih, sendirinya ngerokok juga," misuh Dika.

Reyhan tak menanggapi lagi. Memilih fokus menikmati benda manis di tangan sambil menatap lurus ke depan. Entah kenapa, akhir-akhir ini rasa rindu akan suasana Jakarta suka hadir di kepala. Biasanya, sore-sore begini ia dan Jepri pasti sudah nongkrong di warung Encing Julaikha untuk sekadar numpang wifi. Meski kegiatannya cuma main game bersama, tapi Reyhan sudah merasa cukup bahagia. Belum lagi saat malamnya ada job balap. Ya Tuhan, Reyhan jadi rindu ugal-ugalan di jalan.

BoKemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang