11. Reyhan itu Sok Kuat

2.7K 310 201
                                        

Anak haram.

Adalah dua suku kata yang kerap Reyhan dengar belakangan ini. Ia juga tidak tahu mengapa orang-orang dewasa di sini suka sekali menjulukinya dengan kata-kata keramat itu. Selalu, setiap Reyhan melakukan kesalahan, julukan itu akan terlontar disambung dengan rentetan kalimat penghakiman.

Lagipula, Reyhan merasa semua perbuatannya di rumah ini akan selalu salah di mata orang-orang. Terkecuali Dika dan mamanya yang lebih banyak diam. Terhitung, sudah empat hari Reyhan berada di sana, tapi orang-orang masih enggan berinteraksi baik-baik dengannya.

Reyhan tak bodoh, jujur. Ia juga mengerti alasan semua orang menyematkan panggilan keramat itu padanya. Toh, bunda pernah bercerita. Bahwa ia lahir hasil kesalahan sekaligus telah merenggut orang-orang terkasih mereka. Reyhan tak habis pikir, mengapa mereka melimpahkan kesalahan sebesar ini pada dirinya?

Ini juga terjadi di luar kendali Reyhan. Jika bisa memilih, memangnya siapa yang mau lahir dengan cara sekotor itu? Lagipula jika memang tidak diinginkan, kenapa tidak dibunuh sejak lahir saja? Tidak ada manusia yang ingin hidup sengsara akibat dosa yang tak pernah dilakukan. Sungguh.

Satu tarikan napas Reyhan ambil dalam-dalam. Remaja kurus itu refleks mendongak saat air mata tiba-tiba luruh dari ujung pelupuk. Mengerjab beberapa kali, hingga membuat rahangnya tampak semakin tegas. Untuk pertama kali sejak kedatangannya di Surabaya, Reyhan menangis.

Bohong jika ia tidak sakit hati. Sebab sekuat apapun ia coba lapang dada, nyatanya perih itu tetap ada. Sedikit demi sedikit mulai menggerogoti pertahannya. Awal-awal, Reyhan masih biasa saja. Lama kelamaan, panggilan itu mulai menjadi serdadu yang menyerang batinnya.

Benarkah semua orang membenci keberadaannya?

Dulu, saat kecil, Reyhan pernah berpikir, mengapa ayahnya berbeda dengan ayah orang lain? Mengapa ayah begitu kasar, tidak pernah berlaku baik seperti papa Jepri? Remaja itu bahkan pernah mencoba mengambil perhatian Elang hanya demi sebuah kasih sayang.

Sampai kedewasaan mulai menyadarkan Reyhan, bahwa semua tidak ada gunanya. Sekeras apapun Reyhan mencoba, hasilnya tetap sama. Elang akan terus membencinya, menempatkannya di posisi paling bersalah. Dan menghakiminya dengan kesalahan-kesalahan yang bahkan tidak pernah Reyhan lakukan.

Sejak saat itu, Reyhan mulai acuh perihal kasih sayang. Baginya, hidup tidak harus diakui. Meski hasilnya ia harus kehausan sosok seorang ayah, Reyhan bertekad untuk tidak akan mengemis kasih sayang Elang lagi kendati dirinya benar-benar ingin.

Reyhan benci validasi. Reyhan benci disakiti oleh ekspektasi. Jadi biarlah. Biar semua berjalan sesuai apa yang semesta mau.

Angin tiba-tiba datang dari arah barat. Menciptakan dingin yang khas, sebab hujan baru saja selesai menyapa bumi. Reyhan menatap sendu semburat jingga yang menghiasi langit kota Surabaya. Senja kali ini terlihat berkali lipat lebih indah saat dilihat dari balkon.

"Hey, ngapain di sini? Kamu belum bener-bener sehat, kan? Nanti demam lagi, loh."

Reyhan menoleh, mendapati atensi seorang ibu hamil di sampingnya. Anin, wanita itu menyapa dengan senyum manis seraya mengecek suhu kening sang keponakan. Tadi ia berniat mengajak sang anak keluar membeli buah, tapi saat ditilik, rupanya Dika sedang tertidur. Fokusnya malah teralih oleh pintu balkon yang terbuka.

"A-aku udah sehat, Tante."

Mati-matian Reyhan coba membiasakan diri dengan aksen aku-kamu. Sebab kemarin, Argadana sempat membahas itu saat di meja makan. Pria tua itu juga memberi petuah banyak soal tata krama saat di meja makan. Memberi tahu banyak hal perihal sopan santun yang sama sekali tak pernah Elang maupun Cantika ajarkan.

BoKemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang