"Perjanjian itu pasti bisa diubah asal disepakati oleh kedua bilah pihak. Ini juga atas permintaanku sendiri, Mas Dewa pasti paham. Tolong aku, Pi. Tolong izinkan kami bercerai ...."
Tiga dari empat orang yang ada di sana masih setia bungkam. Belum menjawab ataupun menangkis ungkapan lirih Cantika. Masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Padahal waktu sudah hampir menyentuh ibadah Zuhur. Namun, konflik yang nyaris sejam Cantika buka ini tak kunjung menemukan penyelesaian. Elang yang acuh melawan Cantika yang bersikukuh minta berpisah. Sulit sekali.
Sebagai yang paling tua di sana, sekaligus seseorang yang paling berhak memutuskan, Argadana hanya mampu mengeluarkan debas. Lelah rasanya memberi pengertian pada Cantika jika bercerai bukanlah sebuah solusi. Namun, semua makin rumit ketika mengetahui bahwa Elang cukup sulit untuk diajak bermediasi. Pria berkepala tiga itu seperti tak peduli. Tak melarang, membela diri atau bahkan menyetujui permintaan sang istri. Elang setia bungkam. Seperti laki-laki yang tak memiliki tanggung jawab secuil pun dalam dirinya.
"Perjanjian ini mutlak, nggak bisa disanggah. Tolong jangan bikin saya makin pusing."
"Perjanjian apa maksud papi? Toh selama enam belas tahun kami di Jakarta, keluarga ini nggak pernah kasih kami nafkah sesuai kesepakatan. Jika sejak awal sudah tidak sesuai, kenapa sekarang tetap memaksa?" sanggah Cantika lagi. Wanita itu terus berbicara meski suaranya terdengar bergetar. Ditemani lelehan air mata yang bolak-balik dihapus. Sakit rasanya, Cantika ingin bebas. Sungguh.
Argadana sempat diam sebentar. Sedikit gentar dengan ucapan Cantika, karena semua yang wanita itu katakan benar adanya. Bohong perihal mempertahankan kesepakatan mutlak di atas kertas. Sejujurnya, Argadana hanya terlanjur nyaman. Memang, di awal ia sempat menolak keras. Membenci bahkan mencaci keberadaan keluarga kecil Elang di rumahnya. Namun, seiring berjalannya waktu, Argadana sadar, bahwa rumah ini kembali hidup setelah mereka datang.
Terutama Reyhan. Anak itu seperti membawa udara segar bagi mereka yang telah kehilangan sosok penyemangat. Tingkah energiknya, tawanya, bagaimana caranya membuat Dika nyaman di rumah, sabarnya yang tak pernah membantah ketika disalahkan. Argadana rasa, ia mulai mengerti kenapa semesta menakdirkan mereka kembali.
Itu juga yang menjadi alasan mengapa Argadana memberikan beberapa fasilitas pada Reyhan. Bukan karena empati ataupun janji yang terlanjur disepakati. Argadana hanya ingin mencoba membuka hati. Itu lah kenyataannya.
Namun, mendengar keinginan nekat Cantika membuatnya sadar, sepertinya semua akan usai. Melihat betapa gencar wanita itu memintanya untuk memisahkan mereka berdua. Argadana benar-benar dilanda dilema. Sungguh.
"Sejak menikah, aku menderita, Pi, Mi." Cantika tatap mata kedua mertuanya itu secara bergantian dengan sarat penuh luka. "Aku hidup di atas kakiku sendiri. Aku kerja cuci baju rumah ke rumah demi untuk aku sama anakku makan. Coba mami tanya, apa dia pernah nafkahi kami? Tanya, Mi, Pi!"
Semua masih diam. Namun, Elang seperti mulai tak nyaman. Terlihat dengan gestur tubuhnya yang sedikit gelisah. Curi pandang ke arah dua orang tuanya. Daripada menyesal, pria itu lebih dominan ke takut dimarah.
"Meski nggak pernah dikasih nafkah, mami sama papi kira penderitaanku cukup sampai di sana? Enggak. Hidupku sama Reyhan kaya di neraka. Hari-hari jadi pelampiasan amarah kalau dia ada masalah di luar ataupun dalam pengaruh alkohol. Kami disiksa, Pi. Kami dipukul." Cantika menunduk, menangis tersedu-sedu sekuat yang ia bisa. "Aku selalu kepikiran mau pisah. Tapi aku takut mas Dewa kecewa. Bagaimanapun juga, ini kesalahanku. Dia sudah berkorban nyawa untuk kehormatan dan keselamatan anakku. Tapi aku udah nggak kuat lagi, Mi, Pi ... sakit banget ...."
"Cantika, saya—"
"Aku benci anak itu, Pi. Demi Tuhan. Tapi sebagai manusia yang melahirkannya ke dunia, aku nggak tega liat dia selalu jadi korban sifat tempramen Mas Elang. Aku takut suatu saat dia bisa mati di tangan ayahnya sendiri ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
BoKem
Teen Fiction#Sicklit #Teenfiction #Jay (Disarankan membaca Niskala terlebih dahulu) "Mereka menyebutku bocah kematian. Padahal aku hanya melakukan hal gila untuk menyamarkan lukaku." -Reyhan Pradipta Wicaksono- Most Impressive Ranking: 🏅2 in •Angst• [4/7/2024]...