18. Hari Sulit ini Belum Berlalu

2.4K 296 166
                                    

Sajadah yang diduduki masih tergelar apik ketika Cantika mengusap secarik foto jadul di tangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sajadah yang diduduki masih tergelar apik ketika Cantika mengusap secarik foto jadul di tangan. Ia pandangi lekat-lekat potret laki-laki jenjang yang berpose bersamanya di sana. Cantika masih ingat dengan jelas detil kenangan yang tersirat. Hari itu adalah hari ke sekian Dewa menjemputnya ke sekolah. Ia yang kehausan sempat merengek minta dibelikan minuman pinggir jalan.

Buliran air mata kembali jatuh membasahi pinggiran mukena. Cantika buru-buru menyeka, mencoba untuk tetap tersenyum seolah Dewa benar-benar ada di depannya. Cantika ingat, kakaknya itu sangat benci melihat ia menangis. Namun, apalah daya. Rasa rindu yang membuncah membuatnya kerap tenggelam dalam luka yang sama.

"Mas, Cantik kangen. Mas baik-baik aja 'kan di sana?" lirihnya pelan lalu membawa foto itu masuk dalam dekapan. Detik berikutnya, Cantika menangis, lagi. Kali ini sedikit lebih keras.

"Kalau aja waktu itu aku tetep egois buat gugurin anak itu sebelum mas bertindak, pasti semua nggak akan jadi serumit ini. Kita masih bareng-bareng, punya keluarga sendiri, dan mas ... masih bisa aku lihat." Semakin lirih, semakin membuktikan bahwa luka yang wanita itu utarakan tak main-main rasanya. "Percuma, Mas. Dengan mas mengorbankan diri untuk menyelamatkan anak itu, pun, kehidupanku tetap menyedihkan ...."

Satu hal yang paling Cantika sesali seumur hidup adalah membiarkan Dewa meregang nyawa hanya demi menyelamatkan kehormatannya. Pria itu berkata, ini lebih baik daripada ia harus hidup dengan melihat Cantika menderita karena kehilangan mahkota. Kalau saja Dewa tahu kehidupannya sekarang, apa pria itu tidak menyesal?

Sesusah-susahnya hidup Cantika dulu, mana pernah ia menangis karena bentakan menyakitkan. Sejak kecil, Dewa selalu memperlakukannya bak puteri raja. Menuruti keinginannya semampu yang pria itu bisa. Dewa adalah sosok kakak, ayah sekaligus ibu yang sukses membesarkan Cantika dengan limpahan kasih sayang. Meski terlahir tanpa orangtua dan sanak saudara, nyatanya Cantika tumbuh dengan baik layaknya anak yang memiliki keluarga lengkap.

Namun, siapa sangka. Hanya karena terobsesi dengan satu hal, Cantika mampu kehilangan satu-satunya harta paling berharga di hidupnya. Saat itu, ia belum berpikir bahwa memaksa sesuatu yang bukan porsinya adalah hal yang salah. Harusnya dulu, ia bisa lebih bijak dalam mengolah perasaan. Menepis rasa suka yang timbul hanya karena terpesona. Harusnya ia sadar, Elang bukanlah hal yang pantas untuk ia dapatkan.

Mana Cantika tahu jika sifat asli Elang ternyata seburuk itu. Mana Cantika tahu jika tampan, kaya dan berwibawa yang diagung-agungkan orang-orang adalah palsu belaka. Mana Cantika tahu jika Elang adalah seorang anak manja yang tak tahu apa arti mandiri, selalu bergantung dengan orang tua, egois dan tak pernah mau disalahkan. Mana Cantika tahu. Yang ia tahu, Elang itu tampan, kaya, memiliki garis keturunan bagus dan tidak neko-neko.

Mengingat semuanya membuat Cantika merutuk. Ternyata benar, semua yang tampak bagus tak melulu mulus. Sampul indah tak menjamin kualitas isi. Mungkin ini alasan mengapa para penasehat selalu berkata agar manusia bisa lebih bijak dalam memilih pasangan. Selain tampang dan ekonomi, banyak kriteria yang harus dipertimbangkan. Sebab, seumur hidup itu terlalu lama untuk dijalani bersama orang yang salah.

BoKemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang