Reyhan pernah berpikir, apa jadinya jika dulu ayah bunda tidak melakukan kesalahan dan berpacaran layaknya sepasang kekasih pada umumnya? Apa mereka akan tetap menikah? Apa keluarga besar Argadana juga bersedia merestui meski jalan yang mereka tempuh dengan cara baik-baik? Apa dirinya akan tetap lahir? Atau ... ia ada memang karena jalan yang diambil adalah jalan yang salah?
Kasarnya, jika kejadian buruk itu tidak terjadi, apa ia akan tetap lahir di rahim orang-orang salah?
Reyhan tak ingin menghakimi Tuhan, tapi sungguh, kenapa makin dewasa, Reyhan semakin sadar jika kehidupan yang ia tempuh kian rumit? Tak pernah muncul di benak Reyhan jika akan ada waktu dimana ia pindah dari tanah kelahirannya. Lalu bertemu dan terikat dengan keluarga sebesar dan sehebat keluarga Argadana. Reyhan tak pernah menyangka akan terlibat banyak luka seperti ini. Pikirnya dulu, hidup yang ia jalani hanya seputar berperang melawan ego ayah dan ekonomi keluarga.
Namun, siapa sangka. Takdir membawanya ke titik rasa sakit lebih intens. Dimana ia harus melawan ego ayah, bunda, dendam keluarga dan kecaman-kecaman menyakitkan dari sebagian besar orang-orang yang ada di sana.
Hidup memang serumit ini, ya? Lantas, harus seluas apa lagi sabar yang hendak Reyhan persiapkan? Bohong jika remaja enam belas tahun itu tidak lelah. Fisik maupun batin, semuanya terluka. Kadang, Reyhan mikir kok bagaimana caranya supaya bisa lebih menikmati hidup. Bahkan ia pernah berencana melarikan diri dan hidup bebas jauh dari lingkup keluarga.
Namun, yang jadi pertanyaan, apa ia sanggup? Melihat bunda menangis saja Reyhan tersiksa. Apalagi tak melihat wajah wanita itu dalam kurun waktu yang cukup lama.
Embusan angin malam yang menerpa kulit membuat Reyhan spontan menggosok tangan. Dari kejauhan, bisa ia lihat dengan jelas dedaunan pohon yang gugur menyapa tanah. Gemuruh petir pun mulai menyapa telinga. Akan tetapi, sama sekali tak membuat Reyhan berpikir untuk beranjak dari sana.
Semenjak pisah kamar dengan Dika, selepas ibadah isya, Reyhan suka berdiam diri di sana, balkon. Menikmati lembutnya belaian angin malam sembari memerhatikan kegiatan bapak-bapak penjaga di bawah. Kadang sambil bermain gitar, kadang pula sambil mendengarkan musik, atau membaca novel yang ia beli dengan Jepri sewaktu di Jakarta dulu. Rasanya sedikit lebih baik.
Soal Dika, anak itu selalu tidur tepat waktu. Jadi, mereka hanya melakukan kegiatan bersama sebentar sesaat sesudah makan malam saja. Setelahnya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Seperti malam ini. Tadi, selepas makan, Reyhan sebenarnya ingin mengajak Dika bermain gim online. Namun, entah kenapa remaja tanggung itu seperti menghindar. Menolak secara halus lalu pergi ke kamarnya.
Kebetulan saat ia hendak beranjak juga, Argadana memanggil. Memberinya wejangan lagi terkait masalah di sekolah lalu memberikan sebuah ponsel pintar berlogo apel digigit, laptop dengan merk serupa dan juga sebuah kartu ATM. Pria tua itu menyerahkan sambil berkata bahwa semua fasilitas itu ia beri semata-mata karena tidak ingin ada yang menyadari ada anak yang diasingkan di rumah ini. Kasarnya, Argadana ingin orang-orang tetap mengira mereka adalah keluarga cemara seperti yang selama ini khalayak tahu.
Mendapat perlakuan demikian membuat dada Reyhan kian menyesak. Sejahat itu, ya? Apa reputasi dan validasi lebih berharga daripada hati darah daging sendiri? Jujur, Reyhan senang diberi barang-barang mewah. Toh sejak dulu dia hanya mampu membeli gawai android. Itupun karena dibantu tipis-tipis oleh Jepri. Sebab ayah bunda memang tak pernah mau tahu soal kebutuhan dirinya.
Namun, jika caranya seperti ini, rasanya jadi aneh. Tak nyaman. Reyhan bahkan masih membiarkan barang-barang mewah itu tergeletak di meja hadapan tanpa berniat membuka isinya. Memerhatikan sambil bergelut dengan ramainya isi kepala.
"Jangan langsung mikir kemana-mana. Semua barang itu dikasih semata-mata untuk menutupi supaya koreng keluarga ini nggak kecium sama orang-orang. Dari dulu, keluarga Argadana adalah keluarga cemara bahagia yang nyaris nggak punya celah. Jadi sebagai sumber kebusukan, kita harus tau diri."

KAMU SEDANG MEMBACA
BoKem
Teen Fiction#Sicklit #Teenfiction #Jay (Disarankan membaca Niskala terlebih dahulu) "Mereka menyebutku bocah kematian. Padahal aku hanya melakukan hal gila untuk menyamarkan lukaku." -Reyhan Pradipta Wicaksono- Most Impressive Ranking: 🏅2 in •Angst• [4/7/2024]...