"Diminum dulu, Mbak."
Anin meletakkan segelas teh hangat ke atas meja seraya mengulas senyum. Setelahnya ikut duduk di samping wanita yang barusan ia sapa untuk kemudian menikmati keindahan kolam ikan bersama. Sedikit kepayahan sebab bobot di perutnya kian membesar.
Cantika ikut tersenyum. Menyambut pemberian sang ipar untuk diseruput sedikit sebagai formalitas. Sebab sesungguhnya, rasa tak nyaman di hati membuatnya tak berselera dalam segala hal. Pikirannya masih penuh oleh konflik dengan sang mertua. Ditambah dengan pernyataan dokter yang menangani Reyhan beberapa waktu lalu.
"Udah bulannya, ya, Dek?" ujar Cantika basa-basi. Tangannya tergerak mengelus permukaan perut buncit Anin.
"Belum, Mbak. Masih jalan tujuh bulan. Cuma karena kembar, jadi keliatan kaya udah waktunya." Anin terkekeh kecil. Mengundang tatapan syok yang mengajak bicara.
"Wah, ikut gen papanya, ya?"
"Iya kayanya, Mbak."
Cantika sempat terdiam beberapa detik saat bayangan wajah Daffa Daffi tiba-tiba muncul di kepala. Ia bahkan masih ingat dengan jelas kejadian memalukan yang ia lakukan di taman pada dua anak kembar itu. Kejadian dramatis yang mampu menghilangkan nyawa salah satu di antara mereka.
"Mbak ...."
"Ya?" Cantika mengerjab. Menatap Anin lembut.
"Mbak mikirin apa? Soal kata-kata om Feri tadi?"
"Oh, enggak. Aku cuma nggak nyangka, kok kamu akhirnya bisa nikah sama Daffa," jawab wanita berbibir tebal itu beralibi.
"Panjang ceritanya, Mbak. Daffa hancur banget setelah kepergian Daffi. Bahkan ngaruh ke kesehatan mental sama fisik dia juga. Aku sempet kewalahan pas itu. Apalagi keluarga dia."
"Aku ngerti." Cantika membuang pandang. Rasa bersalah kembali mendominasi hati. "Kamu pasti berperan penting dalam menyembuhkan luka keluarga ini. Secara ... Daffi itu sumber kebahagiaan semua orang."
"Iya, Mbak. Nggak ada yang baik-baik aja setelah anak malang itu pergi. Wah, kacau banget waktu itu. Apalagi pas Mas Elang bener-bener ninggalin rumah. Mami sempet drop lama di rumah sakit."
Cantika menunduk. Jemarinya tampak saling remat, menandakan ada gusar yang berusaha ia lampiaskan. "Semua ini karena aku, Nin. Andai dulu aku bisa lebih kontrol rasa sukaku. Andai dulu aku nggak terobsesi sama mas Elang. Mungkin anak haram itu nggak akan pernah ada. Dan aku bisa hidup bahagia sama mas Dewa."
***
"Nggak pernah baik, hidupku selalu dihantui rasa bersalah, Mi. Aku salah ke mami, papi, Daffa, apalagi ... Daffi."
Ada suara isakan kecil yang coba Elang tahan sedemikian rupa. Bahkan saking keras usahanya, pria itu sampai meremas celana bagian lutut. Menghiraukan usapan hangat sang ibu yang setia menghiasi punggung.
"Daffi pasti udah maafin kamu, Mas. Jangan terus berlarut-larut, ya," ujar Gita bermaksud menenangkan. Hidup layaknya seorang ibu, tak peduli sebesar apapun kesalahan anak, seorang ibu akan tetap membuka pintu maaf selebar yang ia bisa. "Jadi selama ini di Jakarta kalian ngontrak?"
Elang sempat terkekeh kecil sebelum menjawab dengan nada sumbang. "Dengan aku yang dari dulu hidup selalu bergantung sama mami, mami ngarep aku jawab apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BoKem
Teen Fiction#Sicklit #Teenfiction #Jay (Disarankan membaca Niskala terlebih dahulu) "Mereka menyebutku bocah kematian. Padahal aku hanya melakukan hal gila untuk menyamarkan lukaku." -Reyhan Pradipta Wicaksono- Most Impressive Ranking: 🏅2 in •Angst• [4/7/2024]...