33. Kehilangan

2.2K 336 281
                                    

"Nggak apa-apa, bapak pulang aja. Biar urusan keluarga, aku yang atasi nanti. Yang penting minta bantu doanya buat mama sama adek bayi, ya, Pak?"

Pria renta dengan handuk kecil yang tersampir di pundak itu spontan geleng kepala. "Jangan, Le. Bapak takut nanti masalahnya makin besar kalau sampai keluarga kalian bawa ke jalur hukum. Biarin aja, wes, bapak tak nunggu di sini aja," ucapnya dengan aksen Jawa medok.

"Enggak akan, Pak. Aku janji, nggak akan ada masalah apa-apa lagi setelah ini."

Mendengar penuturan tulus Reyhan, pria itu lantas berlinang air mata. Tangan keriputnya yang gemetar sejak kejadian beberapa waktu lalu sedikit lebih tenang. Tak menaruh ekspetasi jika remaja yang tak sengaja ia tabrak memiliki kebaikan seluas samudera.

"Le, maafin bapak, ya. Bapak kurang fokus tadi nyetirnya. Karena dapet kabar anak bapak jatuh dari pohon, tangannya patah. Jadi buru-buru banget. Sekali lagi maafin bapak, ya?"

Reyhan lekas menarik tangan ketika pria renta itu mencoba mendaratkan ciuman di sana. Suaranya terdengar bergetar. Tidak, bukan hanya suara. Melainkan seluruh tubuhnya bergetar. Reyhan tahu sudah sebesar apa rasa takut pria itu saat ini. Terlebih saat di TKP tadi, banyak warga sekitar yang menghakiminya dengan membawa-bawa nama besar sang sang kakek, -Argadana.

"Udah, Pak. Nggak apa-apa, Pak. Mending bapak cepat pergi sekarang, sebelum keluarga pada nyampe."

Tanpa aba-aba, tangan renta pria itu terangkat mengusap bahu kiri Reyhan. "Cah bagus, cah apik, makasih, ya ... semoga Allah balas kebaikan kamu dengan kebaikan yang lebih besar, lagi. Sampein maaf bapak ke mama kamu, ya. Maaf juga bapak nggak punya apa-apa buat tebus kesalahan bapak."

Reyhan hanya merespon dengan senyumnya yang khas. "Nggak perlu, harta Eyang aku masih lebih-lebih cuma buat biaya rumah sakit doang, Pak." Anak itu tertawa sebentar. "Yang penting minta doanya buat mama sama adek bayi."

"Pasti, pasti bapak doain terus."

"Ya udah, hati-hati nanti, Pak. Jangan buru-buru lagi, takut bapak yang jadi kenapa-kenapa."

Seusai berpamitan, pria tua itu lekas bangkit dan berjalan menjauh. Baju lusuhnya terlihat mencolok di antara orang-orang yang ada di sana. Langkahnya juga sedikit terseok, mungkin karena faktor usia. Dalam diamnya, Reyhan menghela napas. Semoga setelah ini Tuhan selalu melindungi dan melimpahkan rezeki untuk bapak tersebut.

Begitu sosok pria tadi benar-benar hilang tertelan jarak, Reyhan lantas meluaskan batuk yang sudah ia tahan sejak di tempat kejadian. Kecelakaan yang mereka alami memang tidak begitu parah. Hanya tabrakan biasa sebab laju kendaraan keduanya tidaklah kencang. Hanya saja, bobot motor Reyhan terlalu kecil untuk melawan hantaman gerobak bakso bapak tadi. Alhasil, vespanya oleng dan mereka pun terjatuh menghantam trotoar.

Tadi, suasana sempat keos dikarenakan para awak jalan ikut serta menambah kericuhan. Menghakimi sebelah pihak hingga berujung menyudutkan yang dianggap bersalah. Untung Reyhan sudah cukup dewasa untuk menangani sebuah masalah. Dengan sopan ia tarik pria tua tadi lalu menjelaskan pada orang-orang bahwa tidak ada yang perlu dibesar-besarkan. Hanya kecelakaan kecil sebab bapak pedagang bakso itu putar arah secara mendadak. Dan mereka pun akhirnya tenang dengan syarat bapak itu harus bertanggungjawab mengurus pengobatan.

"Uhuk ... uhuk ... s-sakit banget, anjing ...."

Reyhan spontan memegang dadanya yang tak simetris. Mencoba menetralisir nyeri dengan usapan lembut. Kepalanya terangkat menatap langit-langit untuk kemudian disandarkan pada dinding. Sungguh, dadanya terasa seperti ditikam meski hanya untuk sekadar dibawa mengambil napas.

Tidak, Reyhan bukan terluka karena kecelakaan barusan. Ini hanya efek dari fraktur tulang rusuknya yang tak kunjung sembuh. Entahlah, rasanya malah semakin parah. Sebab setiap hari, intensitas sakit yang dirasa kian meningkat.

BoKemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang