8. Mati Ditikam Kenyataan

2.4K 260 285
                                    

Pukul 09:30 keluarga kecil Elang terbang meninggalkan Jakarta. Ketiganya mengambil kelas ekonomi seharga 840.000 per orang untuk estimasi waktu satu jam tiga puluh lima menit di udara.

Reyhan duduk tepat di belakang kursi Elang dan Cantika. Ini adalah kali pertama anak itu naik pesawat. Kesan awal yang ia rasa adalah takut. Berita-berita di televisi yang sempat marak tentang pesawat jatuh tak mau lepas dari kepala. Tak ayal, banyak rapalan doa yang Reyhan panjatkan sejak pertama kali sampai di kabin.

Setelah komat-kamit cukup lama, kantuk pun datang. Reyhan menguap sebentar. Kemudian melirik kaca jendela sembari menikmati hamparan lautan awan yang membentang. Tiba-tiba, sedih kembali hadir kala wajah Jepri muncul di ingatan.

Kira-kira, remaja itu sudah berhenti menangis belum, ya?

Sebelah tangannya terangkat menghapus air mata yang nyaris jatuh di ujung pelupuk. Reyhan menangis, lagi. Ia jadi teringat kata pepatah, sebaik apapun cara seseorang berpamitan, perpisahan akan tetap menyakitkan. Dan itu Reyhan akui kebenarannya. Meski kemarin mereka telah melakukan banyak hal bersama, bahkan menghabiskan malam dengan canda tawa, perpisahan ini ... tetap menyakitkan.

'Nanti ketemu lagi sesudah dewasa, yak!'

Bohong. Reyhan terkadang denial dengan kata bertemu kembali setelah berpisah. Ia yakin, lambat laun Jepri pasti akan menemukan dunianya. Tentu dengan orang dan suasana yang baru. Waktu akan membiasakan segalanya, percayalah.

Tak lama, kendaraan bertuliskan Lion Air itupun mendarat sempurna di Bandar Udara Internasional Juanda, Jawa Timur. Para penumpang pun turun, termasuk Reyhan, Elang dan Cantika. Ketiganya berjalan beriringan menuju tempat peristirahatan. Sejenak melepas penat sebelum memesan kendaraan selanjutnya.

Namun, ada yang aneh dengan Reyhan. Anak itu terlihat kurang nyaman. Sesuatu di perutnya terasa bergejolak hendak menembak keluar. Bibirnya tampak pucat, dihiasi keringat yang membasahi pelipis. Padahal saat berangkat tadi, Reyhan merasa baik-baik saja.

"Hey, ngapain masih diem di situ? Ayo!" tegur sang ibu yang entah sejak kapan sudah berdiri sekitar dua meter di depan Reyhan.

Tak ingin mengundang amarah dari sang ayah, bocah itu buru-buru berdiri. Membuat keseimbangannya goyah seketika. Siapapun, ingatkan Reyhan bahwa ia punya riwayat hipotensi alias darah rendah. Tidak baik melakukan pergerakan secara tiba-tiba.

Sepanjang perjalanan di mobil, Reyhan hanya diam. Tak seaktif biasanya. Karena kondisi yang ada juga kurang mendukung. Mengingat hubungannya dengan Elang dan Cantika tak semanis hubungan anak-orangtua pada umumnya. Terdapat pembatas menjulang yang tak pernah berhasil Reyhan tembus.

Faktanya, selain lahir sendirian, Reyhan juga hidup sendirian.

Terlalu hanyut dalam buaian afeksi sepi, Reyhan sampai tak sadar kalau mobil yang mereka tumpangi telah berhenti. Setelah melihat Cantika selesai bertransaksi dengan supir, Reyhan pun beranjak keluar. Menenteng tas bawaan sembari memindai sekitar. Menerka-nerka lokasi yang terlihat begitu asing.

Reyhan terdiam beberapa saat. Kini di hadapannya terdapat rumah megah tiga lantai yang dilindungi pagar besi menjulang. Tak lama fokusnya pun teralih pada sang ayah yang terlihat berinteraksi dengan penjaga yang menghampiri.

"Maaf sebelumnya, Mas. Tapi setahu saya anak pak Argadana cuma Mas Daffa."

Elang tampak mengeluarkan debas frustrasi. Sambil memijit pelipis, meneliti ke arah rumah yang sudah ia tinggalkan beberapa puluh tahun lamanya. Banyak yang berubah, salah satunya keberadaan penjaga di hadapan. Elang rasa, ini ada kaitannya dengan kejadian yang menimpa Daffi. Mungkin, papinya itu ingin menerapkan keamanan yang lebih ketat, tak seperti dulu.

BoKemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang