"Iki tenanan, ta, Cok? Awamu ngajak adewe rene nggur ngge ndelok wong turu?"
(Ini beneran? Kamu ngajak kami ke sini cuma buat liatin orang tidur?)
Suheil terkekeh kecil. Ikut menjatuhkan pandang ke arah remaja yang sedang berbaring di atas brankar dengan napas teratur. Tadi sebenarnya hanya dia yang disuruh menjaga Reyhan oleh petugas. Namun, dikarenakan Suheil bosan, jadilah ia menyeret dua sobat karibnya untuk ikut serta di sana.
"Asu-asu, capek mbanget aku koncoan mbek arek pedulian ro awamu, El," sambung si ketua, Hernest. Rasa-rasanya dia sudah gelisah berada cukup lama di sana. Belum lagi dengan bau obat yang cukup kentara.
(Anjing-anjing, capek banget aku temenan sama anak pedulian kaya kamu, El.)
"Yo kalian tanggung jawab loh, udah bikin dia begini. Nanti begitu dia baikan terus ngadu sama kepala sekolah, piye?" tukas Suheil sembari menenggelamkan kepala di sandaran sofa. Sedikit mengantuk.
"Gampang, gari jotos i ae nek njobo sekolah. Ngunu ae repot, Cok," sahut Jerry seenaknya.
(Gampang, tinggal pukuli di luar sekolah. Gitu aja repot.)
Suheil yang sudah nyaris terpejam langsung melayangkan sebuah pukulan di kepala anak itu. "Cangkemmu! Ambu bosok. Gelem ta diskors meneh mbek pak Sukris?"
Sebagai yang paling sering dizalimi, Jerry hanya mampu usap-usap kepala, tak berani membantah. Mentang-mentang memiliki postur tubuh lebih pendek dari Suheil dan Hernest, Jerry jadi sedikit dikucilkan. Lagipula, halus-halus begitu, Suheil akan tampak menyeramkan jika sedang marah. Alasan mengapa Hernest mengangkatnya sebagai orang kepercayaan di Orion Hexa.
Akhirnya, ketiga remaja berdarah Jawa itupun terdiam. Hanyut dalam kegiatan masing-masing. Suheil sudah jatuh ke alam mimpi dengan tangan bersedekap. Sementara Hernest dan Jerry memilih sibuk dengan gawai di tangan. Terkadang, terdengar debasan frustrasi dari mulut keduanya. Mungkin jika bukan demi Suheil, takkan mereka mau berdiam diri seperti orang bodoh di sana.
Saat sedang bergulat melawan rasa bosan, Jerry dan Hernest dikejutkan dengan kedatangan remaja putih biru yang melenggang masuk tanpa memberi salam. Anak itu tampak mendekati brankar Reyhan untuk diteliti lebih dekat.
"Heh, bocil. Ngapain kamu nyasar ke sini?" tegur Hernest sinis. Namun, begitu yang diajak bicara memutar badan, ia spontan tersenyum penuh seringai. "Lah, arek asu iki ternyata, Jer."
Jerry sudah berdiri dan mendekat, bersiap memiting leher anak itu. "Piye kabare, Dik? Kangen pukulanku po ra?"
Dika yang memang baru menyadari atensi orang-orang itu langsung ketakutan. Berusaha mencerna keadaan. Berbagai pemikiran buruk langsung menyerbu pikiran. Jangan-jangan keberadaan mereka ada sangkut pautnya dengan tumbangnya Reyhan. Ya Tuhan, dia panik sekali tadi saat wali kelasnya memberi kabar jika sepupu sekaligus temannya itu berada di UKS.
"Kalian apain masku?" cecar Dika begitu saja. Mencoba memberikan tatapan terseram yang ia punya. Kali ini, Dika harus berani. Kemarin saja Reyhan rela dipukul Elang demi melindungi dirinya.
"Oh, jadi arek lemah iki masmu, ta?" Hernest ikut berdiri. Membuat Dika reflek mundur. Melihat dada bidangnya nyali Dika langsung mengkerut.
"I-iya, dia masku. Lapo?" Kendati begitu, Dika masih mempertahankan perlawanan. Sampai tidak sadar jika langkah mundurnya menciptakan benturan pada brankar Reyhan. Perlahan, mata sayu remaja itu pun mulai terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
BoKem
Teen Fiction#Sicklit #Teenfiction #Jay (Disarankan membaca Niskala terlebih dahulu) "Mereka menyebutku bocah kematian. Padahal aku hanya melakukan hal gila untuk menyamarkan lukaku." -Reyhan Pradipta Wicaksono- Most Impressive Ranking: 🏅2 in •Angst• [4/7/2024]...