Reyhan sedang memetik senar gitar saat semburat jingga mulai menggagahi langit kota Surabaya. Belakangan ini, remaja pemilik rahang tegas itu terlihat banyak menghabiskan waktu di sana, —balkon. Ditemani dua batang rokok beserta teh pucuk dingin tentunya. Terkesan sederhana, tapi nyatanya mampu membantu Reyhan sejenak melupakan luka-lukanya.
"Wajar bila saat ini ...."
Sebuah bait lagu terdengar. Reyhan mulai bernyanyi, mengiringi petikan musik dengan warna suara khasnya. Sempat terpejam sejenak guna mencari letak nada paling nyaman untuk didengar, sampai akhirnya terbuai oleh suara yang tercipta.
"Ku iri pada kalian ...."
Embusan angin dari arah barat terasa lembut membelai wajah. Reyhan kembali terpejam. Membiarkan cahaya senja yang membias menyorot tiap inci dari rupa tenangnya. Beberapa anak rambut pun ikut bergerak bersama udara, seakan menambah suasana sendu yang Reyhan cipta.
"Yang hidup bahagia berkat suasana, indah dalam rumah ...."
Bibir mungil yang telah kehilangan warna itu terlihat mengulas senyum kecil sesaat setelah melantunkan bait paling menyakitkan. Karena faktanya, menyesuaikan diri itu tidak mudah. Terlebih untuk dirinya yang sejak awal kedatangan pun sudah disambut oleh penolakan. Meskipun kini Reyhan tahu penyebab dan merasa pantas akan sikap mereka.
Memangnya siapa yang tidak terluka melihat orang yang menyebabkan orang terkasih mereka tiada?
Ah, Reyhan jadi malu saat mengingat, betapa kerasnya ia mencoba dekat dengan orang-orang di rumah ini dulu. Berusaha agar diterima layaknya keluarga. Sampai berandai bisa dicintai, dikasihi, dan hidup bahagia sebagaimana mestinya.
Terkesan tidak tahu diri sekali, kan?
Bagaimana bisa seorang biang masalah berharap kebahagiaan atas rasa sakit yang sudah dilakukan?
Reyhan malu, sungguh. Berulang kali sudah ia coba bicara dengan Cantika agar mereka kembali ke Jakarta saja. Namun, dengan nada sarkasnya wanita itu membantah. Menolak mentah-mentah permintaannya. Cantika bilang, Reyhan terlalu banyak tingkah. Padahal, wanita itu tidak tahu sudah sehancur apa hati sang anak saat ini. Bahkan untuk menjalani hari saja, Reyhan benar-benar tak memiliki semangat lagi.
Awalnya, Reyhan masih tidak percaya saat Daffa menceritakan masalalu kelam yang menjadi sebab hancurnya keluarga Argadana. Semua terasa begitu tiba-tiba, sampai membuatnya syok beberapa saat. Reyhan ingat, bunda memang pernah bercerita pasal kelahirannya yang bersangkutan dengan penghilangan nyawa. Namun, mana lah Reyhan sangka jika masalahnya akan sekejam dan semenyedihkan ini.
Tak menampik, semenjak Daffa menjelaskan dengan detil kronologi kejadian puluhan tahun silam, Reyhan semakin malu menampakkan diri di hadapan seluruh anggota keluarga Argadana. Tak terkecuali si empunya cerita, Daffa. Masih bisa Reyhan rasakan betapa hebat luka pria itu saat menjelaskan tentang rasa sakitnya kehilangan orang paling berharga di hidupnya.
Sial, Reyhan benar-benar benci mengetahui bahwa hadirnya telah menorehkan luka sehebat itu bagi banyak orang.
Mungkin akan lebih baik jika dia tidak dilahirkan saja, bukan?
"Hal yang selalu aku bandingkan dengan, hidupku yang kelam."
Pada bait lagu kali ini, suara remaja itu sedikit bergetar. Tak terhitung sudah berapa kali Reyhan mengusap air mata akhir-akhir ini. Bohong jika ia tak marah pada semesta. Bohong jika ia tak membandingkan garis takdirnya dengan orang-orang.
Sesederhana cara Tuhan menetapkan takdir Dika dengan dirinya, terlihat sangat-sangat berbeda, 'kan?
Jika kabar hadirnya Dika dalam perut Anin disambut haru oleh dua belah pihak keluarga, tidak dengan Reyhan yang munculnya malah menimbulkan prahara hebat. Kalau Dika lahir dan tumbuh oleh banyak limpahan kasih sayang, tidak dengan Reyhan yang menapaki kedewasaan dengan ragam maki dan umpatan penghakiman.
KAMU SEDANG MEMBACA
BoKem
Teen Fiction#Sicklit #Teenfiction #Jay (Disarankan membaca Niskala terlebih dahulu) "Mereka menyebutku bocah kematian. Padahal aku hanya melakukan hal gila untuk menyamarkan lukaku." -Reyhan Pradipta Wicaksono- Most Impressive Ranking: 🏅2 in •Angst• [4/7/2024]...