7. Jepri Time

1.7K 212 146
                                    

Hari ini adalah hari terakhir Reyhan di Jakarta. Kata bunda, jam sembilan besok mereka sudah terbang ke Surabaya. Semua barang yang hendak dibawa juga sudah tersusun rapi di rumah. Bahkan si joni, vespa kesayangannya sudah nangkring, siap untuk diangkut menggunakan pesawat cargo.

Seperti rencana kemarin, di momen akhir ini, Reyhan dan Jepri memutuskan untuk jalan-jalan. Menghabiskan waktu berdua sebelum perpisahan benar-benar tiba. Jepri bahkan rela bolos sekolah. Padahal, harusnya jum'at ini mereka ada ulangan semester akhir.

Pagi-pagi sekali Jepri sudah nangkring di atas Aerox-nya, di depan rumah Reyhan. Dengan setelan khas remaja beranjak dewasa. Celana jeans koyak bagian lutut, kaos oblong putih dilapis denim yang tak dikancing, lengkap dengan sepatu vans corak caturnya. Jangan lupakan senyum sumringah yang ia cipta. Terlihat begitu semangat.

"Buset, cakep amat anak om Giok," sapa Reyhan begitu keluar rumah. Anak itu terlihat mengibaskan rambut yang masih basah. Menenteng helm seraya menutup pintu. Setelan yang anak itu pakai juga tak jauh berbeda dengan temannya. Celana jeans hitam koyak-koyak, kaos oblong hitam dan sepatu putih pemberian Jepri. Terlihat red flag sekali, bukan?

"Masih kalah cakep lah sama anak om burung. Yang modal belekan doang udah ganteng."

"Hati-hati lo, tuh om-om lagi ngopi di dalem."

Reyhan terkekeh melihat respon Jepri. Mungkin karena ia sering mengadu pasal kekerasan sang ayah, Jepri jadi terdoktrin sendiri. Padahal setahunya Elang tak pernah memarahi anak itu. Bahkan kalau ketemu suka saling lempar senyum.

Setelah mantab, Reyhan pun lekas menarik pedal gas menuju destinasi air kegemaran Jepri, Curug Parigi. Kenapa Reyhan yang nyetir? Karena yang punya uang memang selalu berkuasa 'kan? Kerjanya tinggal enak. Duduk tenang sama nyuruh-nyuruh. Reyhan sendiri tak masalah, toh dia memang tak berduit. Jangan heran, pertemanan mereka memang begitu sejak dulu. Jadi wajar saja kalau langgeng.

Sepanjang perjalanan, Jepri tak berhenti berbicara. Reyhan yang memang punya penyakit sedikit budek kalau di jalan jadi repot sendiri. Tapi tetap asik, kok. Apalagi kalau Jepri sudah marah-marah karena Reyhan tak kunjung paham maksud ucapannya.

"Rey, berhenti bentar, Rey."

"Ngapain?"

"Bentar, mau foto. Cakep anjir suasananya."

Reyhan terpaksa menepi di dekat besi pembatas jembatan. Mereka belum sampai tujuan, sekitar tiga puluh menit lagi. Namun, Jepri dengan segala sifat narsisnya itu terlihat excited menyorot sekeliling menggunakan gawai logo apel digigitnya. Reyhan pun terpaksa ikut buka helm, menikmati suasana. Untung masih sepi.

"Rey, berdiri di situ, Rey."

Sebelah alis Reyhan terangkat. "Hah? Mau ngapain, bjir. Sini lo aja gue fotoin."

"Iya, ntar gantian. Buru," tukas Jepri masih sibuk menatap layar gawainya. Antusias sekali.

"Ah, males, ah." Reyhan hendak maju. Ia memang tidak ingin foto.

"Buat kenang-kenangan, ege. Kan tujuan janjalannya itu. Ntar kalau gue kangen tinggal buka galeri."

Hati Reyhan nyeri mendadak. Ia pandangi wajah sumringah Jepri yang terpapar sinar matahari. Anak itu benar, ini adalah hari terakhir mereka bersama. Sebelum jarak menjadi penghalang keduanya untuk bertemu nantinya.

"Yaudah. Gaya gimana, nih?" Reyhan mundur, bersandar ke besi pembatas.

"Nah, gitu aja. Lo mah ngupil doang cakep, Rey. Nggak usah repot-repot gaya, dah."

Reyhan mendengkus seraya memalingkan wajah. Di waktu itu pula suara jepretan dari ponsel Jepri berbunyi. Remaja itu tersenyum melihat hasilnya. Sendu tiba-tiba hadir saat menyadari bahwa sebentar lagi Reyhan akan benar-benar jauh dari jangkauannya. Sahabat yang ia kira akan menjadi teman menua bersama akan segera pergi dengan kehidupan barunya.

BoKemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang