(Jika Allah menguji seseorang melalui apa yang disukai, maka boleh saja Allah pun menguji dari apa yang tidak kita sukai)
***
Setelah melewati jalanan yang macet, akhirnya mereka sampai di Bandara. Masih tersisa dua puluh menit sebelum pesawat take off. Sebuah koper hitam yang akan mengiringi keberangkatan saudaranya."Kabari mama jika telah sampai" yang diangguki oleh kakak tertuanya itu.
Terlihat tangan mama merapikan jaket denim yang dikenakan anaknya. Memukul-mukul ringan bahunya.
"Istirahat yang cukup dan ingatlah selalu apa tujuan kamu" Shabit sedikit tersenyum.
Ia menoleh kepada Khansa, paham dengan apa yang dikatakan mamanya sehingga membuat pria itu mengangguk.
Sekarang gilirannya, apakah ini adalah salam perpisahan. Apakah ia harus mengatakan sesuatu, suasana yang sangat dingin menurutnya untuk mengatakan salam perpisahan kepada seseorang yang sudah tak seakrab lagi dengannya. Tapi mau bagaimana lagi.
"Jangan dipaksakan, kalau lelah istirahatlah" kalimat terakhir yang ia ucapkan dengan pelan yang mungkin saja hanya dia dan pria itu yang mendengar.
Mahyra mundur setelah mengatakan itu. Pria itu, Shabit terlihat mematung sampai pada akhirnya mengangguk.
"Baik-baiklah di sini" balasnya
.
.
Pengumuman keberangkatan baru saja terdengar. Shabit akhirnya bersiap, memegang koper yang dibawahnya. Tersenyum hangat lalu terakhir memberi pelukan kepada kami.
Pria itu berbalik sampai hilang dari kerumunan manusia yang akan duduk bersamanya di satu pesawat dengan tujuan yang sama.
Pada akhirnya Mahyra dan Shabit terpisah oleh jarak. Mahyra mengakui, sebagaimanapun kondisi ia dan kakaknya pada akhirnya ada rasa yang tidak bisa ia jelaskan yang menghimpit sampai akan membuatnya menangis dengan perpisahan ini.
Ia mengakui bahwa nyatanya ia merasa sedih.
.
.
Di tengah perjalanan pulang, hanya keheningan yang melanda. Kak Khansa berpisah dengannya di tengah perjalanan, hari menjelang sore dan kakaknya itu menuju kampus untuk bertemu pembimbing atas tugas akhirnya.
Khansa dan dirinya terpaut empat tahun, yang artinya sekarang usianya 21 tahun. Masa sibuknya untuk memilah judul skripsi dan merencanakan penelitian-penelitian.
Kakaknya itu adalah mahasiswa jurusan kedokteran. Ia berpikir apakah nasibnya akan sama seperti kedua kakaknya, sementara yang ia inginkan bukan itu.
"Ayo turun" ia melihat sekitar, bangunan berlantai tiga dengan desain mewah. Mahyra turun dan mengikuti langkah mamanya.
Sepanjang memasuki bangunan tersebut, matanya banyak disuguhkan oleh para pelajar baik dari kalangan SD, SMP, SMA atau bisa ia tebak pasti ada yang seusia dengannya.
Melihat hal tersebut, ia yakin tempat ini adalah tempat Bimbel, tempat para orangtua menitipkan anak-anaknya belajar. Ia tidak sempat membaca tulisan besar yang ada di atap bangunan ini karena terlalu fokus bergelut dengan pemikirannya.
Mereka sekarang berada di lantai dua sebuah ruangan yang ia tahu adalah ruangan para tutor. Mereka masuk ke salah-satu bilik tertutup.
Mahyra duduk berseberangan dengan mamanya, di depannya adalah wanita yang ia perkirakan berusia dua kali lipat dari usianya. Terlihat tegas dan to the point.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serambi Doa [REVISI]
Teen FictionMahyra segera berlari, untungnya ia tak pergi jauh. Ia masuk ke dalam gedung, melewati koridor. Sial, kelasnya berada di lantai tiga. Ia menunggu dengan gelisah di depan lift, sampai lift terbuka ia segera masuk dan menekan tombol nomor 3. Ia panik...