Bab 33 Berharap 🌻

8 7 0
                                    

(Cinta yang tumbuh sebelum ikatan halal tidak akan menjamin untuk tidak memberikan rasa kekecewaan saat pelakunya tak melibatkan Tuhan di dalamnya)

***


"Mahyra menurut lo om gue gimana?"
Mahyra yang sedang berkutat di dapur bersama sahabatnya dalam rangka menyediakan makan malam untuk sangpunya rumah. Mahyra mendengar pertanyaan aneh sahabatnya menoleh

"Iya enggak bagaimana" Mahyra menjawab ala kadarnya dan kembali fokus memasukkan sayur bening ke dalam wadah. Ssmentara Nam memutar bola matanya atas tanggapan Mahyra.

"Lo kalo jadi istrinya mau enggak?"

Praaangg

Mahyra memungut tutup panci yang terjadi, ini semua adalah ulah Nam. Kenapa coba menanyakan hal seperti itu. Tak berselang lama, pemilik pondok datang menghampiri.

"Ada apa nak?"

Mereka berdua sontak berbalik, Mahyra hanya tersenyum kikuk. Mencari alasan yang baik.

"Bukan apa-apa nek, ini Nam nyengol tutup panci sayur hehe"

Mahyra tersenyum malu menatap Nam dengan alasan masuk akalnya. Wanita itu lantas tersenyum, lalu menatap Mahyra.

"Baik-baik aja nak?" ah Mahyra lupa jika ibu dari pria bernama Difran ini sangatlah penyanyang. Pertama kali bertemu ia disuguhi begitu banyak cinta, apalagi setelah mendengar kisahnya yang memilukan. Wanita itu bahkan memintanya memanggilnya dengan sebutan ummi, namun Mahyra merasa tidak pantas. Namun begitulah jika ia harus dipaksa.

"Iya, Mahyra baik-baik saja ummi"

Wanita itu kemudian mengangguk melangkah pergi setelah mengelus bahu Mahyra.

Sepeninggalan beliau, Mahyra tersenyum hangat. Ia merasa diharapkan dan diterima. Hal itu tak lepas dari pandangan,sahabatnya.

"Gue bilang kan, nenek juga kelihatan sayang sama lo"

Perkataan itu sontak membuat Mahyra tsrsadar, ia balik menatap sahabatnya dengan tatapan melotot. Sahabarnya itu tidak berpikir sebelum berkata yang tidak-tidak. Mana mau sosok Difran bersanding dengannya yang seperti ini, baru juga belajar.

"Lo kalau ngomong jangan suka ngasal Nam, entar gue cobekin nih mulutnya sama sambal ini" tunjuk Mahyra pada semangkok sambal.

Sontak Nam tertawah dibuatnya.
"Lo enggak tahu Mas Difran aja ahaha, kalau dia setuju, lo terima kan?"

Pembahasan tidak akan habis jika menyangkut sosok tersebut. Sahabatnya ini memang selalu berusaha untuk mencomblangkan mereka. Ia pikir sahabatnya ini terlalu menghayal untuk hal tersebur.

Mahyra dan Difran itu bagaikan langit dan bumi, dirinya adalah bumi. Sangat sulit untuk menggapai langit.

"Ngadi-ngadi lo" semprot Mahyra kemudian berlalu membawa semangkok sayur dan sepiring lauk untuk disajikan di meja makan.

Semua telah ada, kecuali Difran. Mahyra izin pamit keluar. Di saat seperti itu ia merasa tidak enak dan tidak nyaman harus bergabung bersama mereka yang notabenenya adalah pemilik pondok. Ssmentara ia hanyalah seseorang yang hanya sebatas singgah untuk mempelajari dan membangun hidupnya kembali.

Merasa tidak pantas, tentu saja Mahyra merasakan itu. Ia kemudian berjalan menuju asrama putri melalui lorong yang biasa digunakan para ustadzah menuju asrama santri. Namun di tengah perjalanan ia menghentikan langkahnya. Ia melupakan sesuatu, melupakan Al Qur'annya.

Mahyra berbalik menuju rumah itu kembali. Baru saja membuka alas kakinya. Melangkah mendekati pintu, namun sesuatu yang menggelitik telingannya terdengar

Serambi Doa [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang