(Saat orang lain tak bisa menerima kita sepaket dengan kekurangan, haruskah dunia pertama kita juga melakukan hal yang sama, lantas kepada siapa lagi yang bisa menerima diri dengan kurangnya ini)
***
Cuaca cerah menyejukkan di pandangan, pepohonan hijau menghiasi tiap garis jalanan. Pegunungan yang tinggi begitu dekat seakan meminta perhatian. Menikmati pagi dengan secangkir coklat panas yang terlihat dari asap yang mengepul. Duduk beralaskan rumput sambil menikmati pemandangan perkebunan teh dan nuansa pegunungan.Dua anak sebaya berkisar 17 tahun, satunya dengan topi rajut terpasang di kepalanya, sementara yang satu dengan syal rajut melingkar di lehernya.
Disekeliling mereka tenda-tenda terpasang rapi dalam jumlah sedikit, kumpulan manusia bertebar dengan aktivitas masing-masing. Ada yang memotret, membuat sarapan, bahkan ada yang berolahraga. Kedua gadis itu terkecuali, memilih duduk di rerumputan menikmati pemandangan alam sesekali melempar senda gurau ala persahabatan.
"Mahyra, lo masih ingat kan percakan kita kurang lebih sebulan yang lalu?"
Mahyra menoleh lantas mengangkat sebelah alisnya
"Itu loh pas kita chattingan, gue yang mau bawahin lo jodoh ihhh..masa enggak ingat" Muka ditekuk dengan wajah mungil itu sukses membuat Mahyra tertawa.
Nam sahabatnya ini memanglah random, Mahyra bahkan tidak bisa menjabarkan diri temannya itu. Orang yang bisa ngelucu, bisa jadi dewasa, kekanakan, bisa jadi penengah, bahkan bisa jadi ibu ustadzah buat Mahyra.
Mahyra bersyukur karena Nam mau berteman dengannya yang punya banyak masalah. Nam memang berbeda dengannya, Nam itu terlahir dari keluarga yang bisa dibilang paham akan agama.
Ayah Nam adalah pengasuh sebuah pondok pesantren di Jawa, sementara Ibunya walaupun hanya betah di rumah namun Mahyra bisa melihat jika keluarga itu benar-benar memupuk yang namanya sebuah kehangatan dalam keluarga, kasih-sayang. Bahkan Mahyra sempat merasa iri dengan temannya itu, namun Nam sendiri mengulurkan tangannya, menerima dirinya yang banyak kurangnya ini.
Nam memang mememakai jilbab, tapi dia tidak pernah memaksa dirinya untuk melakulan itu. Walaupun begitu, Mahyra bersyukur jika Nam masih mau berteman dengannya.
"Iya, gue ingat kok, mulutnya gak usah dimaju-majuin gitu ih. Mirip bebek banget" sejurus tangan itu melayang pada bahunya, sedikit sakit tapi mereka tertawa kemudian.
"Om gue tu, gak kalah tampan kok sama Ghaisan"
Nam mengatakan itu dengan senyum meledek khas dirinya. Membuat Mahyra jengah, akan setiap saat selalu di goda dengan nama Ghaisan.
"Banyak duit enggak?" Mahyra mencoba meladeni
"Oh..tentu, masih muda udah punya usaha sendiri. Selain itu ya lulusan Madinah pol gak tuh,"
Mahyra menggelengkan kepala, temannya ini begitu bersemangat mengiklankan omnya. Mahyra tertawa, baginya mana bisa seperti itu.
Laki-laki yang dimaksud Nam adalah laki-laki yang agamis, ia tertawa akan hal tersebut. Menurutnya mana ada pria yang seperti itu mau bersanding dengannya, yang bahkan untuk shalat saja masih bolong-bolong.
.
.
Di hari libur untuk program les, Mahyra diberi kesempatan untuk menghabiskan waktu bersantai di akhir pekan, beberapa pekan lagi ia akan menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Tentu saja ia membutuhkan persiapan yang matang, terlebih lagi mamanya pasti akan menuntun nilai yang memuaskan. Sehingga hari ini ia menghabiskan waktu bersama sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serambi Doa [REVISI]
Novela JuvenilMahyra segera berlari, untungnya ia tak pergi jauh. Ia masuk ke dalam gedung, melewati koridor. Sial, kelasnya berada di lantai tiga. Ia menunggu dengan gelisah di depan lift, sampai lift terbuka ia segera masuk dan menekan tombol nomor 3. Ia panik...