36

527 57 7
                                    

Kabut tebal musim panas masih menyelimuti, menghalangi jarak pandang di bawah kaki bukit. Dingin pagi buta terasa menembus tulang.

Siluet tubuh cantik terlihat samar di tengah kabut, diterangi sisa-sisa sinar rembulan. Berjalan anggun di tengah hamparan tulip merah muda, menikmati wangi nektarnya yang begitu menenangkan. Memejamkan mata sembari merentangkan, merasakan lembutnya butiran-butiran embun menyentuh kulit halus. Kelopak indah terasa berat, rupanya butiran embun hinggap di bulu mata lentiknya.

Sangat nyaman, suasana pedesaan sungguh merefresh otak. Melenyapkan beban-beban yang begitu berat, meluruskan pikiran kusut yang seperti kaset rusak.

Jeno merasa jauh lebih baik.

Perlahan fajar mulai menyingsing, semburat merahnya terasa menyilaukan. Kicauan burung hutan mulai bersahutan, memulai hari mereka di hari yang cerah. Hinggap di ranting-ranting, mengumpulkan daun kering untuk di jadikan rumah. Sederhana namun terlihat menyenangkan.

Desiran air menyapa Indra, sepertinya tidak jauh dari sini ada air terjun. Mungkin di lain hari Jeno akan ke sana.

Terlalu asri hingga Jeno tidak ingin pergi dari sini. Tenang dan sunyi, hanya ditemani suara-suara alami.

"Jen...!",

Jeno menoleh tenang, mengikuti sumber suara.

"Sejak kapan kau di sini?. Aku dari tadi mencari mu...!",

Jaemin muncul dari bawah dan terlihat kesulitan saat mendaki.

" Tunggu di sana!. Aku akan ke bawah...",

Jeno tidak ingin Jaemin kesulitan, lihatlah bumil itu begitu kepayahan berdiri di atas permukaan tanah yang tidak rata. Di tambah lagi akhir-akhir ini Jaemin sering memegangi pinggangnya.

"Ayo...!",

Jeno membimbing Jaemin untuk turun, sangat hati-hati. Sungguh dia sangat takut jika Jaemin sampai terjatuh di sini.

Huh!

Jeno merasa lega, mereka telah sampai di halaman belakang rumah.

" Dulu di sini adalah kebun kentang dan di ujung sana ladang stroberi. Tapi semenjak nenek tidak ada rumahnya menjadi tidak terurus begitupun dengan kebun-kebunnya...",

Jaemin menjelaskan saat melihat Jeno yang penasaran dengan tanaman-tanaman yang telah mengering.

"Kenapa kau tidak pernah bilang jika punya rumah nenek di sini?",

"Dulu aku sering ke sini saat ayah dan bunda masih ada. Namun setelah kepergian mereka aku pun mendengar kabar nenek juga telah tiada...",

Jeno menangkap raut sendu Jaemin, topik ini terlalu sensitif.

"Aku ingin tinggal di sini selamanya...!",

Jeno berseru riang.

"Yakin betah tinggal di desa?",

Jaemin terkekeh melihat Jeno yang sangat bersemangat. Sahabatnya itu seperti hidup kembali.

"Aku akan berkebun dan menanam sesuatu di sini nanti!",

Jaemin senang melihat senyum Jeno, meski beban belum sepenuh terangkat setidaknya sorot mata itu mulai bercahaya dan tidak redup lagi.

"Aku senang jika kau suka di sini. Sekarang ayo masuk, aku sudah menyiapkan sarapan!",

"Aigo...!. Maafkan Aunty yah aegi, seharusnya Aunty yang memasak...",

Jaemin tergelak mendengar ocehan Jeno pada perutnya.

.

.

.

"Jen, nanti ke pasar yuk!. Kalau tidak salah hari ini ada pasar...",

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang