Bab 8: Kemarahan yang Terpendam

4.3K 583 110
                                    

Haloo beberapa bagian di bab ini ada yang pake bahasa jawa guysss, boleh dong temen-temen yang bisa bahasa jawa bantu translate di inline, biar temen-temen yang enggak ngerti, tinggal buka inline komen gitu yaa!

'Barang siapa yang memudahkan orang lain, maka Allah akan mudahkan urusannya.'

WKWKWKWKWKKW😘😘😘😘

Terima kasih banyakk😭🫶


***



Setelah pertengkaran malam itu, Aia lebih dulu beranjak untuk mandi. Pikirannya sedang sangat kacau, sehingga ia tidak ingin bicara apa-apa lagi. Barangkali hormon menstruasinya membuat ia menjadi lebih sensitif. Mereka tidur dengan saling memunggungi, tidak ada satu pun yang berinisiatif membuka suara.

Pagi harinya Edzar bersuara lebih dulu ketika Aia sedang memilihkan kemeja yang akan Edzar pakai. Pria itu bilang, "Ya, sekalian sama dasi ya? Hari ini ada meeting sama komisaris, jadi harus pakai dasi."

"Okay."

Sudah. Itu saja. Sampai mereka sarapan bersama pun, tidak ada obrolan yang terjalin. Edzar lebih banyak diam seperti biasa, sementara Aia diam karena pikirannya sibuk.

Ketika Edzar pamit akan berangkat kerja, Aia yang biasanya cuma salim dan dikecup keningnya, lebih dulu bergerak untuk memeluk Edzar. Ia sudah hampir menangis, karena menyesali semua yang ia lakukan kemarin. Dadanya semakin sesak oleh rasa bersalah.

"Kak, maaf yaa? Kemarin aku kedengaran terlalu berisik menekan Kak Edzar. Harusnya aku enggak perlu mempermasalahkan hal sepele kayak gitu. Aku sama sekali enggak bermaksud buat menuntut Kak Edzar atau meragukan perasaan Kak Edzar!"

Pria itu balas memeluk Aia. Begitu pelukan mereka terurai, Edzar baru menjawab, "Enggak papa, Ya. Ini salahku, karena aku masih kebingungan dalam banyak hal, kamu jadi ikutan bingung juga. Maaf ya?"

Dengan mata berkaca-kaca, Aia mendongak, kedua tangannya masih melingkari pinggang Edzar. Ia berusaha menerjemahkan makna dari tatapan Edzar sekarang, tapi ia tidak menemukan apa-apa selain kosong. "Kak Edzar marah sama aku?"

"Enggak."

"Terus? Apa dong? Sebel sama aku?"

Kepala Edzar menggeleng lagi. "Enggak tuh."

"Kak Edzar kecewa sama aku? Aku enggak bermaksud meragukan perasaan Kak Edzar, aku cuma merasa hubungan kita perlu sedikit diubah, enggak bisa kayak begini terus, kan?"

"Iya, Ya, aku ngerti kok."

"Kak Edzar sayang sama aku nggak?" Pertanyaan itu Aia ucapkan dengan air matanya yang mulai menetes satu per satu.

"Sayang, Ya ...." Lantas Edzar membawa Aia pada pelukannya lagi. Kali ini lebih erat, meski rasanya pergerakan tangan pria itu di punggung Aia masih terasa kaku.

"Aku juga sayang banget sama Kak Edzar!"





***





"Gimana ekspektasi Kak Edzar tentang pernikahan?"

"Nggak ada ekspektasi apa-apa, sih."

"Masa nggak ada sama sekali? Hmmm ... atau imajinasi Kak Edzar tentang pernikahan itu kayak apa? Nggak mungkin, nggak ada. Pasti setidaknya sekali aja, pernah terbesit di pikiran Kak Edzar soal kehidupan Kak Edzar setelah menikah bakal gimana?" Aia langsung mencerocos panjang lebar gregetan, mendengar jawaban Edzar yang lambat dan sama sekali tidak memuaskan.

Not Available (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang